Paus Pertama Dalam Sejarah Gereja Katolik

Paus Pertama Dalam Sejarah Gereja Katolik

Wafatnya Santo Petrus

Pada tahun 18 Juli tahun 64 Masehi, sebuah kebakaran besar terjadi di area pertokoan Circus Maximus, Roma. Api dengan cepat merambat kemana-mana, dan melalap rumah warga yang mayoritas terbuat dari kayu. Api memang berhasil dipadamkan beberapa hari setelahnya, namun saat itu terjadi, sekitar 70 persen kota sudah hangus. Saat kebakaran besar itu terjadi, Roma berada di bawah kekuasaan Kaisar Nero yang terkenal kejam.

Bukannya fokus menolong warga, sang kaisar justru menyalahkan orang-orang Katolik di Roma. Akibatnya, orang-orang ini pun mengalami penyiksaan. Mulai dari diumpankan ke binatang, hingga disalib. Santo Petrus menjadi salah satu orang yang meninggal karena disalib. Namun berbeda dari Yesus, ia lebih memilih disalib terbalik dengan kepala di bawah karena merasa dirinya gak layak meninggal seperti Yesus.

Namanya Santo Petrus disebutkan dalam Alkitab

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Awalnya, Santo Petrus berprofesi sebagai nelayan bernama Simon. Ia kemudian bertemu Yesus yang memanggilnya dengan nama Kefas, atau Petros dalam Bahasa Yunani. Nama Santo Petrus ternyata beberapa kali disebutkan dalam Alkitab. Salah satunya di Matius 16:18-19, ketika Yesus memanggil Petrus dengan sebutan “Kefas”.

Dalam Bahasa Aramaic Kuno, kefas memiliki arti 'batu karang'. Batu karang di sini berarti Santo Petrus akan menjadi dasar fondasi bagi gereja Katolik. Gak hanya menjadi dasar bagi berdirinya gereja, ia juga disebut sebagai “Gembala Utama” yang bertugas untuk memimpin umatnya di Bumi, seperti seorang gembala yang menuntun kawanannya.

Baca Juga: Apa Itu Paus dalam Katolik? Ini Penjelasannya!

Siapa Paus pertama dalam agama Katolik?

Paus pertama dalam agama Katolik adalah Saint Peter atau yang juga dikenal sebagai Santo Petrus. Ia adalah salah satu sahabat terdekat Yesus, sekaligus juga menjadi Paus pertama gereja Katolik. Dalam ajaran Katolik, ia merupakan pemimpin dari dua belas Rasul yang tercantum dalam Alkitab. Setelah penyaliban dan kebangkitan Kristus, Santo Petrus mulai menyebarkan agama Kristen kepada semua orang.

Bersama Paulus, Petrus melakukan perjalanan dan menetap di Roma, Italia. Gak hanya menyebarkan ajaran Kristen Katolik, Petrus juga diyakini sebagai orang yang membangun gereja pertama di Roma. Ribuan tahun berlalu setelah kepergiannya pada tahun 64 Masehi, kini ada lebih dari 260 orang yang pernah menduduki posisi terhormat sebagai pemimpin umat. Namun nama Santo Petrus tetap menjadi tokoh yang paling istimewa bagi penganut agama Kristen Katolik.

Paus merupakan seorang pemimpin agama Kristen Katolik

Paus adalah kepala gereja, sekaligus juga pemimpin tertinggi dalam agama Katolik. Seorang Paus dipilih melalui pertemuan tertutup yang dilakukan oleh para pejabat gereja senior di Kapel Sistina yang berada di Vatikan, Eropa.

Proses pemilihan ini disebut dengan Konklaf. Setelah dipilih, Paus melakukan banyak tugas dan tanggung jawab. Di antaranya adalah menentukan posisi gereja dalam banyak isu, mengangkat uskup, dan memberikan penugasan kepada uskup tersebut ke wilayah tertentu.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada tanggal 3 September 2024, menjadi momen istimewa bagi umat Katolik. Bagaimana gak istimewa, kunjungan Paus ke Indonesia bisa dibilang termasuk jarang. Kunjungan terakhir dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989 lalu.

Rencananya, Paus Fransiskus akan melakukan sejumlah agenda selama berada di Indonesia. Ia juga akan mengadakan misa akbar di Gelora Bung Karno Jakarta. Setelahnya, ia berkunjung ke Papua Nugini pada 6 September 2024 mendatang.

Membahas tentang Paus, sejauh ini, terdapat 266 Paus yang telah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama Katolik. Paus Fransiskus merupakan Paus yang kini menjabat. Jika Paus Fransiskus adalah pemimpin umat Katolik saat ini, lalu siapa paus pertama dalam gereja Katolik?

Pemakaman dan Hari Santo Petrus

Setelah meninggal dunia, Santo Petrus dimakamkan di Bukit Vatikan yang berlokasi gak jauh dari tempat ia disalib. Ketika Kaisar Konstantinus I berkuasa di Roma pada tahun 306--337 Masehi, ia membangun sebuah gereja di atas makamnya sebagai bentuk penghormatan.

Sayangnya, setelah 1.200 tahun berdiri, gereja ini runtuh dan gak bisa diselamatkan. Pada tahun 1950, satu set kerangka manusia ditemukan di bawah altar Basilika Santo Petrus. Relik ini kemudian diteliti ulang pada tahun 1960-an, dan diketahui milik seorang pria berusia 61 tahun yang hidup di abad pertama.

Relik ini diyakini sebagai kerangka milik Santo Petrus. Pemerintah Vatikan kemudian memakamkan kembali kerangka ini di bawah altar tinggi yang ada di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Gak hanya itu, setiap tanggal 29 Juni, Gereja Ortodoks Timur, Katolik, Anglikan, dan Lutheran juga memperingati St. Petrus Day untuk menghormati usaha dan pengorbanannya.

Santo Petrus, Paus pertama di agama Katolik, memang sudah meninggal ribuan tahun yang lalu. Namun pengorbanan dan dedikasinya untuk agama Katolik, membuatnya begitu dihormati. Bukan hanya oleh orang-orang yang hidup satu masa dengannya, tapi juga umat Katolik di masa sekarang.

Baca Juga: Tujuan Paus Fransiskus ke Indonesia: Dorong Kerukunan Umat Beragama

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Geriatri.id - Gereja Katolik telah dipimpin oleh banyak Paus selama berabad-abad, dan beberapa dari mereka mencapai usia yang sangat lanjut.

Bahkan Paus Fransiskus saat ini, yang telah datang ke Indonesia merupakan salah satu yang tertua dan masih menjalankan tugasnya.

Berikut adalah daftar beberapa Paus tertua dalam sejarah Gereja Katolik:

1. Paus Leo XIII (1878-1903)

Dilansir dari The New York Times, Paus Leo XIII adalah salah satu paus tertua dalam sejarah Gereja Katolik. Lahir pada tahun 1810, ia menjabat sebagai Paus selama 25 tahun dan meninggal pada usia 93 tahun.

Baca juga: Agenda Lengkap Paus Fransiskus Selama di Indonesia

Kepemimpinannya ditandai dengan usaha untuk memperbarui hubungan antara Gereja dan dunia modern, terutama melalui ensikliknya yang terkenal, Rerum Novarum, yang membahas masalah hak-hak pekerja.

2. Paus Clement XII (1730-1740)

Paus Clement XII adalah paus lain yang mencapai usia sangat lanjut. Ia lahir pada tahun 1652 dan menjadi Paus pada usia 78 tahun. Clement XII memimpin Gereja Katolik selama 10 tahun hingga kematiannya pada usia 87 tahun.

Selama masa kepemimpinannya, ia terkenal karena pembangunan beberapa gereja dan pengenalan lotere di Roma.

3. Paus Benedict XVI (2005-2013)

Paus Benedict XVI, lahir sebagai Joseph Ratzinger pada tahun 1927, menjadi Paus pada usia 78 tahun dan memimpin Gereja Katolik selama hampir delapan tahun sebelum mengundurkan diri pada tahun 2013.

Dia adalah paus pertama dalam lebih dari 600 tahun yang memilih untuk mundur dari jabatannya, dan hingga saat ini, ia terus hidup dalam masa pensiunnya, membuatnya menjadi salah satu paus tertua dalam sejarah yang masih hidup.

Suara.com - Paus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan Uskup Roma. Lantas, bagaimana sejarah paus pertama dalam Gereja Katolik?

Sejarah Paus pertama akan dibahas sehubungan dengan kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia yang merupakan bagian dari kunjungan apostolik Paus di Asia dan Pasifik.

Dalam kunjungan Asia Pasifik ini, Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Paus Fransiskus. Selama berada di Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024, Paus akan melakukan beberapa agenda.

Selain bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Paus juga akan berkunjung ke Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, serta memimpin misa di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) dan Stadion Madya yang akan dihadiri oleh lebih dari 80.000 umat Katolik.

Baca Juga: PBNU Dukung Azan Magrib Di TV Diganti Running Text Saat Paus Fransiskus Pimpin Misa: Terpenting Di Masjid Tetap Bergema

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia ramai menjadi sorotan lantaran kesederhanannya. Paus dan rombongannya terbang dengan pesawat komersil, serta menolak disiapkan mobil mewah untuk penjemputannya.

Selain itu, Paus Fransiskus juga enggan menginap di hotel dan memilih untuk menginap di Kedutaan Besar Vatikan.

Paus merupakan pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan umat Katolik di seluruh dunia yang berkedudukan di Vatikan. Paus adalah Kepala Negara Kota Vatikan sekaligus Kepala Pemerintahan Takhta Suci.

Dalam tradisi agama Katolik, Paus adalah penerus Santo Petrus, yang di dalam Injil ditugaskan Yesus sebagai "penjala manusia" dan diteruskan oleh Paus lain sampai sekarang.

Sebagai wakil Kristus di dunia, Paus memiliki otoritas spiritual tertinggi dalam Gereja Katolik. Paus Fransiskus, yang menjadi Paus saat ini, merupakan Paus ke-266 dalam Gereja Katolik.

Baca Juga: Misa Paus Fransiskus, Kemenag Imbau Azan Maghrib di Stasiun TV Lewat Running Text Saja

Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik adalah Santo Petrus, yang dianggap sebagai pendiri dan pemimpin awal Gereja Katolik.

Santo Petrus, yang sebelumnya dikenal sebagai Simon, adalah seorang nelayan dari Betsaida di Galilea. Ia dan saudaranya, Andreas, adalah salah satu murid pertama Yesus.

Yesus memberikan nama baru kepada Simon, yaitu Petrus, yang berarti "batu" atau "kerikil" dalam bahasa Yunani, sebagai simbol kekuatan dan stabilitas yang akan dia berikan kepada Gereja.

Menurut tradisi Gereja Katolik, Santo Petrus akhirnya pergi ke Roma dan mendirikan gereja di sana. Tradisi Gereja Katolik menyebutkan bahwa Petrus menjadi martir di Roma di bawah pemerintahan Kaisar Nero, kemungkinan sekitar tahun 64-68 Masehi.

Ia diyakini disalibkan terbalik, sesuai dengan permintaan pribadinya karena merasa tidak layak mati dengan cara yang sama seperti Yesus.

Setelah Santo Petrus wafat, peran kepemimpinan dalam Gereja Kristen diteruskan kepada penerusnya di Roma. Dalam tradisi Katolik, Paus dianggap sebagai penerus langsung dari Santo Petrus.

Sebagai paus pertama, Santo Petrus bukan hanya sosok yang mengawali kepemimpinan terbesar bagi umat Katolik, tetapi juga simbol dari fondasi dan keberlanjutan Gereja Katolik.

Itulah ulasan mengenai sejarah Paus pertama dalam Gereja Katolik. Semoga bermanfaat.

Kontributor : Dini Sukmaningtyas

Paus (dari bahasa Belanda: paus; bahasa Latin: papa dari bahasa Yunani: πάππας pappas,[1] "ayah")[2] sejatinya adalah Uskup Roma, yang menjadi pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia. Menurut Gereja Katolik, keutamaan Uskup Roma tersebut terutama berasal dari peranannya sebagai "penerus Santo Petrus", yang disebut sebagai "Uskup Roma pertama". Petrus sendiri mendapatkan keutamaannya dari Yesus sendiri, yaitu saat Ia memberikan kunci Kerajaan Surga dan kuasa untuk "mengikat dan melepaskan", serta menamainya "batu karang" dan di atasnya Gereja akan didirikan (Matius 16:18–19). Paus saat ini adalah Paus Fransiskus, yang terpilih pada tanggal 13 Maret 2013.[3]

Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin spiritual, jabatan dan pemerintahan Paus disebut "kepausan" atau "pontifikat", sementara yurisdiksi takhta episkopal Paus disebut "Takhta Suci" atau "Takhta Apostolik".[4][5] Lalu dalam kapasitasnya sebagai pemimpin sekuler, Paus merupakan kepala negara dari Negara Kota Vatikan, sebuah negara berdaulat yang seluruh wilayahnya terkurung di dalam Kota Roma, Italia.[6]

Berdasarkan Tradisi Suci, takhta apostolik Roma didirikan oleh Rasul Petrus dan Paulus. Takhta kepausan merupakan salah satu lembaga yang paling bertahan lama di dunia dan telah menjadi suatu bagian penting dalam sejarah dunia.[7] Para paus pada zaman kuno membantu dalam hal penyebaran Kekristenan dan penyelesaian berbagai perselisihan doktrinal.[8] Pada Abad Pertengahan, mereka memainkan suatu peranan dalam kepentingan sekuler di Eropa Barat, biasanya bertindak sebagai penengah atau arbiter di antara para penguasa monarki Kristen.[9][10][11] Pada zaman modern, selain menyebarkan iman dan doktrin Kristen, Paus terlibat dalam oikumenisme dan dialog antaragama, karya sosial, serta pembelaan terhadap hak asasi manusia.[12][13]

Paus dianggap sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh di dunia karena pengaruh budaya dan diplomatik yang dimilikinya.[14][15][16] Pada beberapa periode tertentu, para paus, yang awalnya tidak memiliki kekuasaan sekuler, mengumpulkan suatu kekuasaan besar yang mampu menandingi kekuasaan para penguasa sekuler. Namun dalam beberapa abad terakhir, para paus secara bertahap dipaksa untuk melepaskan kekusaaan temporal kepausan, dan saat ini jabatan pontifikat utamanya lebih berfokus pada persoalan keagamaan.[8] Oleh karena demikian, kekuasaan Paus sebagai pemimpin spiritual semakin tegas dinyatakan beberapa abad terakhir ini, yang berpuncak pada tahun 1870, dengan dikeluarkannya pernyataan dogma infalibilitas Paus untuk kesempatan-kesempatan yang sangat jarang ketika Paus berbicara secara ex cathedra (secara harfiah berarti "dari takhta") saat mengeluarkan suatu definisi formal terkait iman atau moral.[8]

Kata paus berasal dari kata Yunani πάππας yang berarti "ayah" atau "bapa". Pada abad-abad awal Kekristenan, gelar ini diterapkan—terutama di timur—untuk semua uskup[17] dan klerus senior lainnya; kemudian menjadi direservasi di barat untuk menyebut Uskup Roma, suatu reservasi yang baru dinyatakan resmi pada abad ke-11.[18][19][20][21][22] Catatan paling awal seputar penggunaan gelar ini adalah berkenaan dengan Patriark Aleksandria pada saat itu, yakni Paus Heraclas dari Aleksandria (232–248).[23] Catatan penggunaan yang paling awal atas gelar "paus" (pope) dalam bahasa Inggris yaitu pertengahan abad ke-10, ketika digunakan untuk mengacu kepada Paus Vitalianus dalam sebuah terjemahan Inggris Lama Historia ecclesiastica gentis Anglorum karya Beda.[24]

Gereja Katolik mengajarkan bahwa jabatan pastoral tersebut, yakni tugas penggembalaan Gereja, yang dahulu dilakukan oleh para rasul sebagai satu kelompok atau "kolegium" dengan Santo Petrus sebagai kepala mereka, sekarang dipegang oleh para penerus mereka, yaitu para uskup, dengan uskup Roma (paus) sebagai kepala mereka.[25]

Menurut Gereja Katolik, Yesus secara pribadi mengangkat Petrus sebagai pemimpin Gereja dan dalam konstitusi dogmatis Lumen gentium yang dikeluarkannya disebutkan suatu perbedaan yang jelas antara para rasul dan para uskup; di dalamnya dinyatakan bahwa para uskup adalah penerus para rasul dengan paus sebagai penerus Petrus, dalam hal ini ia adalah kepala para uskup sebagaimana Petrus adalah kepala para rasul.[26] Beberapa sejarawan berpendapat bahwa gagasan mengenai Petrus adalah uskup pertama Roma dan mendirikan takhta episkopal di sana hanya dapat ditelusuri kembali hingga abad ke-3.[27] Tulisan-tulisan dari Ireneus, salah seorang Bapa Gereja, yang menulis pada sekitar tahun 180 M mencerminkan suatu keyakinan bahwa Petrus "mendirikan dan mengorganisir" Gereja di Roma.[28] Ireneus dipandang bukan sebagai orang pertama yang menuliskan kehadiran Petrus dalam Gereja Roma awal mula. Klemens dari Roma menuliskan sebuah surat kepada jemaat di Korintus, ca 96,[29] mengenai penganiayaan umat Kristen di Roma sebagai "perjuangan pada zaman kita" dan menyajikan kepada jemaat Korintus para pahlawannya, "pertama-tama, para pilar yang paling benar dan terbesar", "para rasul yang baik" Petrus dan Paulus.[30] Ignatius dari Antiokhia menulis tidak lama setelah Klemens dan dalam suratnya dari kota Smirna kepada jemaat Roma ia mengatakan bahwa ia tidak memberikan perintah-perintah kepada mereka sebagaimana yang Petrus dan Paulus lakukan.[31] Karena hal ini dan bukti lainnya, banyak akademisi sepakat bahwa Petrus menjadi martir di Roma dalam pemerintahan Nero, kendati beberapa akademisi berpendapat bahwa ia mungkin menjadi martir di Palestina.[32][33][34]

Kalangan Protestan berpendapat bahwa Perjanjian Baru tidak memberikan bukti kalau Yesus mendirikan kepausan ataupun menetapkan Petrus sebagai uskup pertama Roma.[35] Kalangan lain, dengan menggunakan kata-kata Petrus sendiri, berpendapat bahwa Yesus memaksudkan diri-Nya sendiri sebagai fondasi Gereja dan bukan Petrus.[36][37] Kalangan lainnya lagi berpendapat bahwa Gereja tidak hanya dibangun di atas dasar iman dan Yesus, tetapi juga di atas para murid—meski bukan Petrus semata-mata—sebagai akar dan fondasi Gereja sesuai dengan ajaran Paulus dalam Surat Roma dan Efesus.[38][39]

Masing-masing komunitas Kristen pada abad pertama memiliki sekelompok presbyter-bishops (uskup jamak) yang berfungsi sebagai para pemimpin gereja setempat mereka. Secara bertahap, episkopal terbentuk di daerah-daerah metropolitan.[40] Antiokhia mungkin telah mengembangkan struktur demikian sebelum Roma.[40] Di Roma, terdapat banyak orang yang mengaku sebagai uskup yang sah meskipun sekali lagi Ireneus menekankan keabsahan satu rangkaian uskup dari masa St. Petrus hingga Paus Viktor I yang hidup pada zaman yang sama dengannya, dan Ireneus membuat daftar tersebut.[41] Beberapa penulis mengklaim bahwa timbulnya seorang uskup tunggal di Roma mungkin tidak terjadi sampai pertengahan abad ke-2. Dalam pandangan mereka, Linus, Kletus, dan Klemens mungkin merupakan presbyter-bishops yang terkemuka tetapi belum tentu uskup tunggal.[27]

Dokumen-dokumen dari abad ke-1 dan awal abad ke-2 menunjukkan bahwa Takhta Suci memiliki semacam superioritas dan arti penting dalam Gereja secara keseluruhan, walaupun detail tentang makna hal ini sangat tidak jelas pada periode tersebut.[42]

Pada awal mula tampaknya penggunaan istilah "episcopos" dan "presbyter" dapat saling dipertukarkan.[43] Konsensus di antara para akademisi yaitu, pada pergantian abad ke-1 dan ke-2, jemaat-jemaat setempat dipimpin oleh para uskup dan para presbiter dengan jabatan yang saling tumpang tindih atau tidak dapat dibedakan.[44] Beberapa kalangan mengatakan bahwa kemungkinan "tidak ada satu pun uskup 'monarkis' tunggal di Roma sebelum pertengahan abad ke-2...dan mungkin belakangan."[45] Para akademisi dan sejarawan lainnya tidak setuju, mereka mengutip catatan-catatan sejarah dari St. Ignatius dari Antiokhia (wafat tahun 107) dan St. Ireneus yang mencatat suksesi linier Uskup Roma (para paus) sampai pada masa mereka sendiri. Mereka juga mengutip arti penting Uskup Roma di dalam berbagai konsili ekumenis, termasuk semua yang paling awal.[46]

Pada era Kristen awal, Roma dan beberapa kota lain memiliki klaim atas kepemimpinan Gereja di seluruh dunia. Yakobus yang Adil, dikenal sebagai "Saudara Tuhan", berperan sebagai kepala gereja Yerusalem yang hingga kini masih dihormati sebagai "Gereja Ibu" dalam tradisi Ortodoks. Aleksandria pernah menjadi suatu pusat pembelajaran Yahudi dan menjadi salah satu pusat pembelajaran Kristen. Roma memiliki jemaat yang besar pada awal periode apostolik yang dibahas Rasul Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Roma yang ditulisnya, dan menurut tradisi Paulus menjadi martir di sana.[butuh rujukan]

Selama abad pertama Gereja (ca 30–130), ibu kota Romawi tersebut menjadi diakui sebagai suatu pusat Kekristenan yang luar biasa penting. Klemens I, pada akhir abad ke-1, menulis sebuah surat kepada Gereja di Korintus Kuno untuk campur tangan dalam suatu perselisihan besar, dan ia meminta maaf karena tidak bertindak lebih awal.[47] Namun hanya ada beberapa referensi lain dari masa tersebut terkait pengakuan atas keutamaan otoritatif Takhta Roma di luar Roma. Dalam Dokumen Ravenna tanggal 13 Oktober 2007, para teolog yang dipilih oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur menyatakan: "41. Kedua belah pihak setuju...bahwa Roma, sebagai Gereja yang 'menjalankan kepemimpinan dalam kasih', sesuai dengan ungkapan dari St. Ignatius dari Antiokhia,[48] menduduki tempat pertama dalam taxis, dan bahwa uskup Roma karenanya adalah protos di antara para patriark. Bagaimanapun kedua belah pihak tidak bersepakat mengenai interpretasi bukti sejarah dari era ini terkait hak prerogatif Uskup Roma sebagai protos, suatu hal yang sudah dipahami dengan cara-cara berbeda pada milenium pertama."[butuh rujukan]

Pada akhir abad ke-2 M, terdapat lebih banyak perwujudan otoritas Roma atas gereja lainnya. Pada tahun 189, penegasan terhadap keutamaan Gereja Roma dapat diindikasikan dalam Melawan Ajaran Sesat (3:3:2) karya Ireneus: "Dengan [Gereja Roma], karena asal usul superioritasnya, semua gereja harus sependapat...dan di dalam dirinya umat beriman di mana-mana telah memelihara tradisi apostolik." Pada tahun 195 M, Paus Viktor I mengekskomunikasi para penganut Kuartodesimanisme karena merayakan Paskah pada tanggal 14 Nisan, tanggal Paskah Yahudi, suatu tradisi yang diwariskan oleh Yohanes Penginjil (lih. kontroversi Paskah). Tindakan ini dipandang sebagai salah satu praktik pelaksanaan otoritas Roma atas gereja lainnya. Perayaan Paskah pada hari Minggu, sebagaimana ditegaskan oleh paus tersebut, adalah sistem yang telah berlaku (lih. computus).[butuh rujukan]

Maklumat Milano (323) memberikan kebebasan beragama bagi masyarakat di Kekaisaran Roma, memulai masa damai Gereja. Pada tahun 325, Konsili Nikea I mengutuk Arianisme dan pada kanon keenam konsili tersebut mengakui peran khusus takhta Roma, Aleksandria dan Antiokia. Pada tahun 380, kekristenan Nikea diumumkan sebagai agama resmi Kekaisaran Roma dan "Kristen Katolik" memiliki makna pengikut aliran ini. Ketika gereja-gereja timur dikuasai oleh otoritas sipil sehingga Patriark Konstantinopel memiliki kekuasaan kuat di Timur, Uskup Roma di Barat berhasil mengkonsolidasikan pengaruh dan kekuatan yang dimiliki. Setelah kejatuhan Kekaisaran Roma Barat, kaum barbar memeluk Katolik; Clovis I, raja kaum Frank, merupakan pemegang kekuasaan barbar pertama yang memeluk Katolik, bukan Arianisme, sehingga bersekutu dengan Paus. Suku lainnya, seperti Visigoth, meninggalkan Arianisme dan memeluk Katolik.

Setelah kejatuhan Roma, paus menjadi sumber otoritas dan kesinambungan. Gregorius Agung (540–604) memberlakukan referomasi ketat. Berasal dari keluarga senator, Gregorius bekerja dengan keputusan yang bijak dan disiplin seperti pada masa Romawi kuno. Secara teologis, karya Gregorius menunjukkan perubahan cara pandang klasik menuju pertengahan yang ditandai dengan keajaiban dramatis, relikui, setan, malaikat, hantu dan akhir dunia.

Penerus Gregorius pada umumnya didominasi oleh Eksarkh Ravenna, wakil kaisar Byzantium di Italia. Penghinaan, lemahnya kekaisaran dalam menghadapi perluasan muslim dan ketidakmampuan kaisar dalam melindungi Negara Gereja dari kaum Langobardi membuat Paus Stefanus II berpaling dari Kaisar Konstantin V kepada kaum Frank. Pippin Pendek menaklukan kaum Langobardi dan memberikan tanah Italia kepada kepausan. Ketika Leo III memahkotakan Karolus Agung, preseden bahwa seseorang tidak akan menjadi kaisar tanpa pemahkotaan oleh paus dimulai.

Sejak abad ke-7, kaum monarki di Eropa terbiasa untuk membangun gereja dan menempatkan imam-imam di tanah mereka yang menyebabkan meningkatnya korupsi dari kaum tertahbis. Praktik lumrah ini terjadi akibat umumnya wali gereja dan penguasa sekuler berperan dalam kehidupan publik. Untuk melawan praktik korupsi yang meluas di gereja ketika tahun 900 – 1050, berbagai tempat, salah satunya Biara Cluni yang pengaruhnya tersebar luas, mendorong terjadinya pembaruan gereja. Paus Gregorius VII menetapkan berbagai peraturan, yang dikenal sebagai Reformasi Gregorius, untuk melawan tindakan-tindakan simoni dan penyalahgunaan kekuasaan sipil dan mendorong disiplin gereja termasuk selibat. Konflik antara paus dan penguasa-penguasa sekuler seperti Kaisar Kekaisaran Romawi Suci Henry IV dan Henry I dari Inggris, yang dikenal sebagai Kontroversi Pentahbisan, yang diselesaikan pada tahun 1122 oleh Konkordrat Worms dengan dekret paus bahwa para tertahbis ditabhiskan oleh pemimpin gereja dan dilantik oleh para penguasa sekuler. Tidak lama kemudiaan, Paus Alexander III memulai serangkaian pembaruan yang berakhir pada penetapan dari Hukum Kanonik.

Sejak awal abad ke-7, kekalifahan telah menguasai Mediterania Selatan dan mengancam kekristenan. Pada tahun 1095, kaisar Byzantine, Alexios I Komnenos, meminta bantuan militer kepada paus Urban II dalam menghadapi invasi Muslim. Urban, pada Konsili Klermon, memulai Perang Salib I untuk membantu Byzantine mendapatkan kembali wilayah Kekristenan kuno, termasuk Yerusalem.

Tahun 867–1049 merupakan titik terendah jabatan pontifikat. Pemerintahan pontifikat dikontrol oleh berbagai fraksi politik. Para paus ditahan, dibunuh dan diturunkan dengan paksa. Beberapa keluarga mendominasi jabatan Paus selama 50 tahun. Bahkan, paus Yohanes XII mengadakan pesta pora di Lateran. Kaisar Otto I dari Jerman berhasil menuduh paus Yohanes XII ke pengadilan gerejawi yang menurunkannya dari takhta dan memilih paus Leo VIII seorang awam, walaupun usaha ini gagal. Konfik antara paus dan kaisar Kekaisaran Romawi Suci berlanjut serta tindakan simoni berlanjut dan semakin terbuka.

Pada tahun 1049, paus Leo IX terpilih dan menghadapi masalah-masalah kepausan dan gereja. Paus Leo IX mengunjungi berbagai kota di Eropa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialami oleh gereja. Hal ini memulihkan prestise kepausan di Eropa Utara.

Gereja Timur dan Barat resmi berpisah pada tahun 1054. Perpecahan ini lebih disebabkan oleh pengaruh politik dibandingkan perbedaan kepercayaan. Paus telah membuat marah kaisar (Byzantium) dengan beraliansi dengan raja Frank, memahkotai rival kaisar Roma (memahkotai kaisar Kekaisaran Romawi Suci), mengambil Eksarkh Ravenna dan memasuki Italia Yunani (Italia Selatan).

Pada abad pertengahan, paus berebut kekuasaan dengan para raja.

Pada tahun 1309 sampai 1377, paus bertempat tinggal di Avignon (sekarang di Prancis) bukan di Roma. Kepausan Avignon tercatat akan kerakusannya dan korupsi. Selama masa ini, paus secara efektif merupakan sekutu dari Prancis dan meng-'asing'-kan musuh Prancis, seperti Inggris.

Paus pada awalnya dipahami memiliki kekuatan untuk menarik 'harta' dari para santo dan Kristus, sehingga paus dapat memberikan indulgensia, mengurangi waktu seseorang dalam Purgatorium. Konsep denda atau sumbangan yang diiringi dengan penyesalan, pengakuan dan doa menimbulkan asumsi umum bahwa indulgensia didasarkan pada kontribusi materi secara sekilas. Paus mengecam kesalahpahaman dan penyalahgunaan namun terlalu tertekan oleh pemasukkan untuk mengendalikan indulgensia.

Para paus berebut kekuasaan dengan para kardinal, yang mencoba menetapkan otoritas konsili atas paus. Teori konsiliar menyatakan bahwa otoritas tertinggi berada pada konsili ekuminis/umum bukan paus. Dasar teori ini muncul pada awal abad ke-13 dan memuncak pada abad ke-15. Kegagalan teori konsiliar untuk mendapatkan pengakuan luas setelah abad ke-15 merupakan faktor pendorong terjadinya Reformasi Protestan.

Antipaus telah mengugat otoritas Paus, terutama pada masa skisma Barat (1378–1417). Pada skisma ini, pontifikat telah kembali ke Roma dari Avignon, namun seorang Antipaus tetap menjabat di Avignon, seolah-olah untuk menentang pemerintahan pontifikat yang ada.

Gereja timur terus melemah seiring melemahnya kekuatan Byzantine yang ikut melemahkan klaim kesetaraan Konstantinopel terhadap Roma. Kaisar Byzantine telah dua kali memaksa reunifikasi gereja-gereja timur dengan Paus. Klaim superioritas Paus merupakan masalah utama dalam reunifikasi yang menyebabkan kegagalan dalam berbagai kesempatan reunifikasi. Pada abad ke-15, Turki merebut Konstantinopel, sehingga mengakhiri usaha reunifikasi dari gereja-gereja timur dengan Paus selama beberapa abad.

Pada umumnya, reformator protestan mengkritik Paus sebagai institusi yang korup dan mengkarakterkan paus sebagai seorang anti-kristus. Paus kemudian membentuk Reformasi Katolik (1560–1648) sebagai jawaban atas Reformasi Protestan dan menetapkan reformasi internal. Konsili Trento, dimulai oleh Paus Paulus III, memuat doktrin dan reformasi yang menjaga keutamaan paus atas faksi-faksi gereja yang berusaha untuk membentuk konsiliasi dengan protestan dan penolak otoritas paus. Secara umum, keutamaan Petrus, yang menjadi dasar keutamaan Paus, merupakan doktrin yang kontroversial yang tetap memisahkan gereja-gereja Barat dan Timur serta Protestan.

Paus secara perlahan menyerahkan kekuatan temporalnya dan berfokus kepada isu spiritual. Pada 1870, Konsili Vatikan I memproklamasikan dogma infallibilitas paus untuk kesempatan yang sangat jarang paus secara ex cathedra ketika mengumumkan definisi luhur dari kepercayaan dan moral. Pada akhir tahun yang sama, Victor Emmanuel II berhasil merebut Roma dari pemerintahan Paus dan berhasil menyatukan Italia. Pada 1929, Perjanjian Lateran antara Italia dan Takhta Suci mendirikan negara Vatikan yang menjamin kemerdekaan Paus dari kekuasaan sekuler. Pada 1950, paus menetapkan "Maria diangkat ke Surga" sebagai dogma yang diumumkan secara ex cathedra sejak infabilitas Paus diumumkan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam komunitas Kristen, para uskup sebagai satu himpunan telah menggantikan himpunan para rasul (suksesi apostolik) dan Uskup Roma telah menggantikan Santo Petrus.[49]

Beberapa teks Kitab Suci yang diajukan untuk mendukung posisi khusus Petrus dalam kaitannya dengan Gereja misalnya:

"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Matius 16:18-19)

"Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." (Lukas 22:31-34)

"Gembalakanlah domba-domba-Ku." (Yohanes 21:17)

Kunci-kunci simbolis dalam lambang kepausan merujuk kepada frasa "kunci Kerajaan Surga" yang tertulis dalam teks pertama di atas. Beberapa penulis Protestan berpendapat bahwa "batu karang" yang dibicarakan oleh Yesus dalam teks ini adalah Yesus sendiri atau iman yang diungkapkan oleh Petrus.[50][51][52][53][54][55] Gagasan ini dilemahkan oleh penggunaan kata "Kefas" dalam Alkitab, yang merupakan bentuk maskulin dari "batu" dalam bahasa Aram untuk mendeskripsikan Petrus.[56][57][58] Encyclopædia Britannica menuliskan bahwa, "konsensus sebagian besar akademisi saat ini adalah bahwa pemahaman yang paling jelas dan tradisional seharusnya ditafsirkan, yaitu, kalau batu mengacu kepada pribadi Petrus."[59]

Pada mulanya, para paus dipilih oleh imam-imam senior di dalam dan dekat kota Roma. Pada 1059, pemilih dibatasi hanya oleh kardinal dari Gereja Katolik dan suara individu dari semua kardinal-elektor disamakan pada 1179. Pemilih sekarang dibatasi kepada kardinal yang belum mencapai usia 80 tahun pada hari sebelum kematian atau pengunduran diri paus. Karena seorang paus adalah Uskup Roma, calon paus haruslah orang yang dapat ditabiskan menjadi uskup, yakni para laki-laki Katolik yang telah dibaptis. Paus terakhir terpilih yang tidak status uskup saat itu adalah Paus Gregorius XVI pada tahun 1831, bahkan bukan tertabis adalah Paus Leo X pada tahun 1513, sedangkan paus bukan Kardinal terakhir yang terpilih adalah Paus Urban VI pada tahun 1378. Jika seseorang yang terpilih bukan merupakan seorang Uskup, dirinya haruslah ditabhiskan sebagai seorang Uskup sebelum pemilihannya diumumkan.

Konsili Lyon Kedua pada 7 Mei 1274 dilakukan untuk mengatur pemilihan paus. Konsili tersebut memutuskan bahwa kardinal-elektor haruslah berkumpul dalam waktu 10 hari setelah kematian paus dan tetap terisolir sampai dengan terpilihnya paus yang terpilih yang diputuskan akibat sede vacante selama tiga tahun akibat kematian Paus Clement IV pada 1268. Pada pertengahan abad XVI, proses pemilihan telah berubah menjadi bentuk kini yang mengizinkan variasi waktu antara kematian paus dan berkumpulnya pada kardinal-elektor.

Secara tradisi, pemilihan dilakukan secara aklamasi, seleksi komite atau pemungutan suara. Aklamasi merupakan prosedur yang paling sederhana, hanya disampaikan dengan suara dan digunakan terakhir pada 1621. Paus Yohanes Paulus II menghapuskan pemilihan melalui aklamasi dan seleksi komite dan sehingga pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara melalui surat suara oleh Kolegium Kardinal.

Pemilihan paus hampir selalu dilakukan di Kapel Sistina di dalam pertemuan tertutup yang disebut konklaf (disebut demikian akibat kardinal-elektor secara teori dikunci, cum clave, yakni dengan kunci, sampai mereka memilih paus baru). Tiga kardinal dipilih dengan undian untuk mengumpulkan suara dari kardinal-elektor yang tidak hadir (karena sakit), tiga kardinal dipilih dengan undian untuk menghitung jumlah suara dan tiga kardinal dipilih dengan undian untuk meninjau perhitungan suara. Surat suara dibagikan dan setiap kardinal-elektor menulis nama pilihanya di kertas tersebut dan berjanji dengan suara keras bahwa dirinya memilih untuk "seseorang di bawah Tuhan yang saya pikir akan terpilih" sebelum melipat dan menaruh surat suaranya di atas lempengan di atas kaliks besar yang ditempatkan di altar. Kemudian nampan itu digunakan untuk menaruh surat suara ke dalam kaliks sehingga mempersulit pemilih memasukkan beberapa surat suara. Sebelum dibacakan, surat suara dihitung dalam posisi terlipat. Jika jumlah surat suara tidak sama dengan jumlah pemilih, semua surat suara dibakar dalam keadaan tertutup dan pemilihan ulang dilakukan. Selanjutnya surat suara dibacakan dengan keras oleh kardinal yang memimpin pemilihan dan membolong surat suara dengan jarum dan benang yang membuat semua surat suara terikat untuk menjaga akurasi dan kejujuran. Pemungutan suara dilakukan sampai dengan terpilihnya seseorang dengan dua-per-tiga suara.

Peraturan yang mengatur mengenai papal interregnum yaitu sede vacante dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada dokumen Universi Dominici Gregis pada tahun 1996. Selama periode sede vacante, Kolegium Kardinal secara bersama-sama bertanggung jawab atas pengaturan Gereja dan Vatikan dibawah panduan dari Karmelengo Gereja Katolik. Namun, hukum kanonik melarang para kardinal untuk menetapkan inovasi baru di pengaturan Gereja selama masa sede vacante. Setiap keputusan yang memerlukan persetujuan oleh paus haruslah menunggu terpilihnya dan menjabatnya paus baru.

Pada abad-abad terakhir, ketika paus diputuskan telah meninggal, sebuah tradisi yang dilakukan oleh kardinal-chamberlain adalah memastikan kematian paus dengan cara mengetuk kepala paus tiga kali dengan palu perak dan memanggil namanya setiap palu diketukan. Tradisi tersebut tidak dilakukan pada kematian Paus Yohanes Paulus I dan Paus Yohanes Paulus II. Kemudian kardinal bendahara mengambil cincin nelayan paus dan memotongnya menjadi dua di depan para kardinal. Kemudian cap kepausan dirusak agar tidak dapat digunakan kembali dan kediaman resmi Paus disegel.

Jasad paus kemudian dibaringkan untuk masa penghormatan terakhir sebelum disemayamkan pada crypt (kubur) dari gereja utama atau katedral. Semua paus pada abad ke-20 dan 21 disemayamkan di Basilika Santo Petrus. Masa perkabungan selama sembilan hari (novendialis) kemudian mengikuti.

Paus terakhir yang mengundurkan diri adalah Paus Benediktus XVI pada tahun 2013. Kitab Hukum Kanonik (KHK) Tahun 1983 menyatakan bahwa pengunduran diri Paus dapat saja terjadi.

"Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun." (KHK 1983, Kanon 332 § 2)

Gelar resmi Paus, sesuai dengan yang tercantum pada Annuario Pontificio, adalah: Uskup Roma, Wakil Yesus Kristus, Pengganti Pangeran Para Rasul, Imam Agung Gereja Katolik, Primat Itali, Uskup Agung dan Metropolit Provinsi Roma, Kepala Negara Vatikan, Hamba dari hamba Allah. Gelar yang terkenal, Paus, tidak muncul dalam gelar resmi, tetapi pada umumnya muncul pada judul dokumen gereja dan muncul dalam tanda tangan dalam bentuk singkatan. Jadi, Paus Paulus VI menandatangani dokumen dengan "Paulus PP. VI" dengan PP. merupakan singkatan dari "Papa" ("Paus").

"Wakil Yesus Kristus" (Vicarius Iesu Christi) merupakan salah satu gelar pada Annuario Pontifico yang umumnya digunakan dalam bentuk singkat "Wakil Kristus" (Vicarius Christi). Walaupun menggunakan kata "wakil", gelar paus ini menunjukkan "keutamaan kepala Gereja di bumi yang membawa keutamaan misi Kristus dan kekuasaan yang diturunkan dari paus" yang ditunjukkan oleh dasar-dasar takhta Petrus.

Catatan pertama penerapan gelar ini tertulis pada sebuah sinode pada tahun 495 dengan merujuk pada Paus Gelasius I. Namun, pada masa tersebut sampai dengan abad ke-9, para uskup menyebut dirinya sebagai wakil Kristus. Pada abad ke-5 dan ke-6, gelar ini dapat merujuk kepada raja dan hakim, terutama kaisar Byzantine. Pada masa abad ke-3, gelar ini oleh Tertullian digunakan untuk menyebut Roh Kudus. Gelar spesifik untuk paus digunakan pada abad ke-13 sesuai reformasi dari Paus Innocentius III yang dapat dilihat pada suratnya kepada Leo I, raja Armenia.

Wakil Kristus dapat saja merujuk kepada para uskup, tidak hanya para paus. Hal ini digunakan pada Konsili Vatikan II sehingga para uskup disebut vicar dan ambassador dari Kristus. Hal ini juga diulang pada ensiklik Ut unum sint oleh Paus Yohanes Paulus II. Namun, gelar wakil Kristus yang disematkan pada uskup berbeda dengan gelar wakil Kristus yang disematkan pada paus yakni gelar pada uskup berarti terhadap gereja lokal namun pada paus berarti gereja secara keseluruhan.

"Imam Agung / Imam Besar" merupakan salah satu gelar yang digunakan oleh paus. Gelar paus ini juga disebut sebagai pontiff yang berasal dari bahasa Latin disebut pontifex bermakna secara leterik sebagai "pembangun jembatan" (pons + facere) dan merupakan anggota dari kolegium utama imam pada masa Romawi kuno. Kata pontifex dimaknai dalam Bahasa Yunani dengan kata ἱεροδιδάσκαλος (ierodidáskalos), ἱερονόμος (ieronómos), ἱεροφύλαξ (ierofýlax), ἱεροφάντης (ierofánti̱s), dan ἀρχιερεύς (archieréf̱s). Kepala dari kolegium tersebut disebut Pontifex Maximus (Pontiff terbesar).

Dalam kekristenan, kata pontifex muncul pada terjemahan Vulgata dari Perjanjian Baru untuk menyatakan imam agung Yahudi (dalam bahasa Yunani, ἀρχιερεύς). Pada mulanya, gelar ini dipergunakan untuk para uskup Kristen, namun menyempit maknanya pada abad ke-11 untuk uskup Roma yang dikatakan "Pontiff Roma". Penggunaan kata yang lama tercermin dalam istilah "Pontifikal Roma", yaitu sebuah buku yang berisi ritus khusus uskup, dan "Pontifikal" (insignia dari uskup).

Annuario Pontificio menulis bahwa salah satu gelar dari paus adalah Summus Pontifex Ecclesiae Universalis yang dapat diterjemahkan menjadi "Uskup Tertinggi/Imam Agung dari Gereja Universal". Para paus juga dapat disebut Summus Pontifex yang berarti "Imam Agung yang Berdaulat".

Pontifex Maximus yang memiliki arti serupa dengan Summus Pontifex, adalah gelar yang umum ditemukan pada inskripsi di bangunan, lukisan, patung dan koin kepausan, yang umumnya disingkat menjadi "Pont. Max" atau "P.M." Jabatan Pontifex Maximus dipegang oleh Julius Caesar dan selanjutnya, Kaisar Roma, sampai Gratian (375–383) menghapusnya. Tertulian, ketika ia masih seorang Montanis, menggunakan kata ini untuk mengejek paus maupun uskup Kartago. Para paus menggunakan gelar ini secara tetap pada abad ke-15.

Walaupun deskripsi ini telah digunakan oleh berbagai pemimpin Gereja yang lain, seperti St. Agustinus dan St. Benediktus, gelar "hamba segala hamba Allah" pertama kali dipergunakan oleh Paus Gregorius Agung sebagai tanggapan untuk merendah atas Patriarkh Konstantinopel Yohanes IV yang menggunakan gelar Patriarkh Ekuminis. Gelar ini kemudian menyempit penggunaannnya kepada paus pada abad ke-12.

Dari 1863 sampai 2005, Annuario Pontifico mencantumkan gelar Patriark Barat. Gelar ini digunakan pertama kali oleh Paus Theodorus I pada tahun 642 dan dipergunakan secara kadang kala. Pada 22 Maret 2006, Vatikan mengeluarkan pernyataan menjelaskan penghapusan gelar ini dengan dasar mengungkapkan "realitas historis dan teologis" dan "menjadi berguna untuk dialog ekumenis". Gelar ini menunjukkan hubungan khusus dan yurisdiksi antara gereja Latin dan paus. Penghapusan gelar ini tidak menunjukkan perubahan hubungan antara Takhta Suci dan Gereja-Gereja Timur yang telah diumumkan oleh Konsili Vatikan II. Namun pada tahun 2024, Paus Fransiskus memutuskan untuk mengembalikan gelar “Patriark Barat,” yang sebelumnya telah dihapus oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2006. Keputusan ini diambil untuk menegaskan kembali pentingnya hubungan tersebut dalam konteks modern.

Gelar lainnya yang dipergunakan kepada paus adalah "Bapa Suci" dalam Bahasa Indonesia.

Wikimedia Commons memiliki media mengenai

Kepala negara dan pemerintahan Eropa

parokirohkuduslabuanbajo.org - Paus merupakan penerus rasul Santo Petrus yang di dalam Injil ditugaskan Yesus sebagai “penjala manusia”, dan diteruskan oleh ratusan Paus lain hingga saat ini. Berikut daftar lengkap Paus Gereja Katolik sepanjang sejarah.

No          Nama    Masa kepausan Nama lahir

1              Paus Santo Petrus           32-64/67 (?)        Simon bin Yunus

2              Paus Santo Linus              67-79     Linus

3              Paus Santo Anakletus    79-88     Anacletus

4              Paus Santo Klemens I     88-97

5              Paus Santo Evaristus       97-105   Aristus

6              Paus Santo Aleksander I               105-115 Alexander

7              Paus Santo Siktus I          115-125 Sixtus, Xystus

8              Paus Santo Telesphorus                125-136 Telesphorus

9              Paus Santo Hyginus         136-140

10           Paus Santo Pius I              140-155 Pius

11           Paus Santo Anisetus       155-166 Anicetus

12           Paus Santo Soter              166-175 Soter

13           Paus Santo Eleutherius  175-189 Eleuterus/Eleutherius

14           Paus Santo Viktor I          189-199

15           Paus Santo Zephyrinus  199-217 Zephyrinus

16           Paus Santo Kallistus I      217-222 Callixtus/Callistus

17           Paus Santo Urbanus I     222-230 Urbanus

18           Paus Santo Pontianus    230-235 Pontian

19           Paus Santo Anterus        235-236 Anterus

20           Paus Santo Fabianus       236-250 Fabianus, Flavianus

21           Paus Santo Kornelius      251-253 Kornelis

22           Paus Santo Lusius I          253-254 Lusius

23           Paus Santo Stefanus I    254-257 Stefanus

24           Paus Santo Siktus II         257-258 Siktus

25           Paus Santo Dionisius       260-268 Dionisius

26           Paus Santo Feliks I           269-274 Feliks

27           Paus Santo Eutychianus 275-283 Eutychianus

28           Paus Santo Gaius             283-296 Gaius, Caius

29           Paus Santo Marselinus  296-304 Marselinus

30           Paus Santo Marsellus I   308-309 Marsellus

31           Paus Santo Eusebius       309-310 Eusebius

32           Paus Santo Meltiades    311-314 Meltiades

33           Paus Santo Silvester I     314-335 Silvester

34           Paus Santo Markus         335-336 Markus

35           Paus Santo Julius I           337-352 Julis

36           Paus Liberius      352-366 Liberius

37           Paus Santo Damasus I    366-383 Damasus

38           Paus Santo Sirikus            384-399 Sirikus

39           Paus Santo Anastasius I 399-401 Anastasius

40           Paus Santo Innosensius I              401-417

41           Paus Santo Zosimus        417-418 Zosimus

42           Paus Santo Bonifasius I  418-422

43           Paus Santo Selestinus I  422-432 Selestinus

44           Paus Santo Siktus III        432-440

45           Paus Santo Leo I               440-461 Leo

46           Paus Santo Hilarius          461-468 Hilarius, Hilarus

47           Paus Santo Simplisius     468-483 Simplisius

48           Paus Santo Feliks III        483-492

49           Paus Santo Gelasius I     492-496 Gelasius

50           Paus Anastasius II            496-498 Anastasius

51           Paus Santo Symnakus    498-514 Symnakus

52           Paus Santo Hormidas     514-523 Hormidas

53           Paus Santo Yohanes I     523-526

54           Paus Santo Feliks IV        526-530

55           Paus Bonifasius II             530-532

56           Paus Yohanes II 533-535 Merkurius

57           Paus Santo Agapitus I     535-536

58           Paus Santo Silverius        536-537 Silverius

59           Paus Vigilius       537-555 Vigilius

60           Paus Pelagius I  556-561 Pelagius

61           Paus Yohanes III               561-574 Yohanes Katelinus

62           Paus Benediktus I            575-579 Benediktus

63           Paus Pelagius II 579-590 Pelagius

64           Paus Santo Gregorius I Agung    590-604 Gregorius

65           Paus Sabianus   604-606

66           Paus Bonifasius III            607

67           Paus Santo Bonifasius IV               608-615

68           Paus Santo Adeodatus I                615-618 Deusdeditus, putra Stefanus

69           Paus Bonifasius V             619-625

70           Paus Honorius I 625-638

71           Paus Severinus 640

72           Paus Yohanes IV               640-642

73           Paus Theodorus I             642-649

74           Paus Santo Martinus I    649-654

75           Paus Santo Eugenius I    654-657

76           Paus Santo Vitalianus     657-672

77           Paus Adeodatus II           672-676

78           Paus Donus        676-678

79           Paus Santo Agathus        678-681

80           Paus Santo Leo II              682-683

81           Paus Santo Benediktus II              684-685

82           Paus Yohanes V                685-686

83           Paus Conon        686-687

84           Paus Santo Sergius I        687-701

85           Paus Yohanes VI               701-705

86           Paus Yohanes VII             705-707

87           Paus Sisinnius    708

88           Paus Konstantinus           708-715 Konstantinus

89           Paus Santo Gregorius II 715-731

90           Paus Santo Gregorius III                731-741

91           Paus Santo Zakarias        741-752 Zakarias, putra Polikronius

92           Paus Stefanus II                752-757

93           Paus Santo Paulus I         757-767

94           Paus Stefanus III              767-772

95           Paus Adrianus I 772-795

96           Paus Santo Leo III            795-816

97           Paus Stefanus IV              816-817

98           Paus Santo Paskalis I       817-824 Paskalis Massimi, putra Bonosus

99           Paus Eugenius II               824-827

100         Paus Valentinus                827

101         Paus Gregorius IV            827-844

102         Paus Sergius II   844-847

103         Paus Santo Leo IV            847-855

104         Paus Benediktus III         855-858

105         Paus Santo Nikolas I Agung          858-867

106         Paus Adrianus II                867-872

107         Paus Yohanes VIII            872-882

108         Paus Marinus I  882-884

109         Paus Santo Adrianus III  884-885

110         Paus Stefanus V               885-891

111         Paus Formosus 891-896

112         Paus Bonifasius VI           896

113         Paus Stefanus VI              896-897

114         Paus Romanus  897

115         Paus Theodorus II            897

116         Paus Yohanes IX               898-900

117         Paus Benediktus IV         900-903

118         Paus Leo V          903

119         Paus Sergius III  904-911 Sergius

120         Paus Anastasius III           911-913 Anastasius

121         Paus Lando         913-914 Lando

122         Paus Yohanes X 914-928 Yohanes

123         Paus Leo VI         928-929 Leo

124         Paus Stefanus VII             929-931 Stefanus

125         Paus Yohanes XI               931-935 Yohanes

126         Paus Leo VII       936-939

127         Paus Stefanus VIII           939-942

128         Paus Marinus II 942-946

129         Paus Agapitus II                946-955 Agapitus

130         Paus Yohanes XII              955-963 Oktavianus

131         Paus Leo VIII      963-964

132         Paus Benediktus V          964

133         Paus Yohanes XIII            965-972 Yohanes

134         Paus Benediktus VI         973-974

135         Paus Benediktus VII        974-983

136         Paus Yohanes XIV            983-984 Peter Campenora

137         Paus Yohanes XV             985-996 Yohanes

138         Paus Gregorius V             996-999 Bruno dari Carinthia

139         Paus Silvester II 999-1003              Gerbert d’Aurillac

140         Paus Yohanes XVII           1003       Siccone

141         Paus Yohanes XVIII         1003-1009            Fasanius

142         Paus Sergius IV 1009-1012            Pietro Martino Boccapecora

143         Paus Benediktus VIII      1012-1024            Theophylactus

144         Paus Yohanes XIX            1024-1032            Romanus

145         Paus Benediktus IX         1032-1044            Theophylactus

146         Paus Silvester III               1045       Yohanes

147         Paus Benediktus IX         1045       Theophylactus

148         Paus Gregorius VI            1045-1046            Yohanes Gratianus

149         Paus Klemens II                1046-1047            Suitger, Lord Morsleben & Hornburg

150         Paus Benediktus IX         1047-1048            Theophylactus

151         Paus Damasus II               1048       Poppo

152         Paus Santo Leo IX            1049-1054            Bruno dari Eguisheim-Dagsburg

153         Paus Viktor II     1055-1057            Gebhard

154         Paus Stefanus IX              1057-1058            Frederick

155         Paus Nikolas II   1058-1061            Gerard

156         Paus Aleksander II           1061-1073            Anselmo da Baggio

157         Paus Santo Gregorius VII              1073-1085            Hildebrand

158         Paus Viktor III    1086-1087            Dauferius atau Desiderius

159         Paus Urbanus II 1088-1099            Otto diLagery

160         Paus Paskalis II  1099-1118            Raniero

161         Paus Gelasius II 1118-1119            Giovanni Caetani

162         Paus Kallistus II 1119-1124            Guido dari Burgundi

163         Paus Honorius II               1124-1130            Lamberto

164         Paus Innosensius II         1130-1143            Gregorio Papareschi

165         Paus Selestinus II             1143-1144            Guido

166         Paus Lusius II     1144-1145            Gerardo Caccianemici

167         Paus Eugenius III              1145-1153            Bernardo Paganelli di Montemagno

168         Paus Anastasius IV          1153-1154            Corrado

169         Paus Adrianus IV              1154-1159            Nicholas Breakspear

170         Paus Aleksander III         1159-1181            Rolando Bandinelli

171         Paus Lusius III    1181-1185            Ubaldo Allucingoli

172         Paus Urbanus III               1185-1187            Uberto Crivelli

173         Paus Gregorius VIII         1187       Alberto de Morra

174         Paus Klemens III               1187-1191            Paulo Scolari

175         Paus Selestinus III            1191-1198            Giacinto Bobone

176         Paus Innosensius III        1198-1216            Lotario dei Conti di Segni

177         Paus Honorius III              1216-1227            Cencio Savelli

178         Paus Gregorius IX            1227-1241            Ugolino, Count Segni

179         Paus Selestinus IV           1241       Goffredo Castiglioni

180         Paus Innosensius IV        1243-1254            Sinibaldo Fieschi

181         Paus Aleksander IV         1254-1261            Rinaldo

182         Paus Urbanus IV               1261-1264            Jacques Pantalon

183         Paus Klemens IV              1265-1268            Guy Foulques atau Guido le Gros

184         Paus Gregorius X              1271-1276            Teobaldo Visconti

185         Paus Innosensius V         1276       Peter dari Tarentaise

186         Paus Adrianus V               1276       Ottobono Fieschi

187         Paus Yohanes XXI            1276-1277            Petrus Juliani atau Petrus Hispanus

188         Paus Nikolas III  1277-1280            Giovanni Gaetano Orsini

189         Paus Martinus IV              1281-1285            Simon de Brie

190         Paus Honorius IV              1285-1287            Giacomo Savelli

191         Paus Nikolas IV 1288-1292            Girolamo Masci

192         Paus Santo Selestinus V                1294       Pietro del Murrone

193         Paus Bonifasius VIII         1294-1303            Benedetto Caetani

194         Paus Benediktus XI         1303-1304            Niccolo Boccasini

195         Paus Klemens V                1305-1314            Bertrand de Got

196         Paus Yohanes XXII           1316-1334            Jacques d’Euse

197         Paus Benediktus XII        1334-1342            Jacques Fournier

198         Paus Klemens VI              1342-1352            Pierre Roger

199         Paus Innosensius VI        1352-1362            Etienne Aubert

200         Paus Urbanus V                1362-1370            Guillaume de Grimoard

201         Paus Gregorius XI            1370-1378            Pierre Roger de Beaufort

202         Paus Urbanus VI               1378-1389            Bartolomeo Prignano

203         Paus Bonifasius IX            1389-1404            Pietro Tomacelli

204         Paus Innosensius VII      1404-1406            Cosma Migliorati

205         Paus Gregorius XII           1406-1415            Angelo Correr

206         Paus Martinus V               1417-1431            Oddone Colonna

207         Paus Eugenius IV              1431-1447            Gabriele Condulmer

208         Paus Nikolas V   1447-1455            Tommaso Parentucelli

209         Paus Kallistus III                1455-1458            Alfonso Borgia

210         Paus Pius II         1458-1464            Enea Silvio Piccolomini

211         Paus Paulus II    1464-1471            Pietro Barbo

212         Paus Siktus IV    1471-1484            Francesco della Rovere

213         Paus Innosensius VIII     1484-1492            Giovanni Battista Cibo

214         Paus Aleksander VI         1492-1503            Rodrigo Borgia

215         Paus Pius III        1503       Francesco Todeschini-Piccolomini

216         Paus Julius II       1503-1513            Giuliano della Rovere

217         Paus Leo X          1513-1521            Giovanni de’Medici

218         Paus Adrianus VI              1522-1523            Adrian Florensz

219         Paus Klemens VII             1523-1534            Giulio de’Medici

220         Paus Paulus III   1534-1549            Alessandro Farnese

221         Paus Julius III     1550-1555            Giovanni Maria Ciocchi

222         Paus Marsellus II              1555       Marcello Cervini

223         Paus Paulus IV   1555-1559            Gian Pietro Carafa

224         Paus Pius IV        1559-1565            Giovan Angelo de’Medici

225         Paus Santo Pius V            1566-1572            Antonio-Michele Ghislieri

226         Paus Gregorius XIII          1572-1585            Ugo Buoncompagni

227         Paus Siktus V     1585-1590            Felice Peretti

228         Paus Urbanus VII             1590       Giambattista Castagna

229         Paus Gregorius XIV         1590-1591            Niccolo Sfondrati

230         Paus Innosensius IX        1591       Giovanni Antonio Facchinetti

231         Paus Klemens VIII            1592-1605            Ippolito Aldobrandini

232         Paus Leo XI         1605       Alessandro de’Medici

233         Paus Paulus V    1605-1621            Camillo Borghese

234         Paus Gregorius XV           1621-1623            Alessandor Ludovisi

235         Paus Urbanus VIII            1623-1644            Maffeo Barberini

236         Paus Innosensius X         1644-1655            Giovanni Battista Pamfili

237         Paus Aleksander VII        1655-1667            Fabio Chigi

238         Paus Klemens IX               1667-1669            Giulio Rospigliosi

239         Paus Klemens X                1670-1676            Emilio Altieri

240         Paus Innosensius XI        1676-1689            Benedetto Odescalchi

241         Paus Aleksander VIII      1689-1691            Pietro Ottoboni

242         Paus Innosensius XII       1691-1700            Antonio Pignatelli

243         Paus Klemens XI               1700-1721            Giovanni Francesco Albani

244         Paus Innosensius XIII     1721-1724            Michelangelo dei Conti

245         Paus Benediktus XIII       1724-1730            Pietro Francesco-Vincenzo Maria-Orsini

246         Paus Klemens XII             1730-1740            Lorenzo Corsini

247         Paus Benediktus XIV      1740-1758            Prospero Lambertini

248         Paus Klemens XIII            1758-1769            Carlo Rezzonico

249         Paus Klemens XIV            1769-1774            Giovanni Vincenzo Antonio-Lorenzo-Ganganelli

250         Paus Pius VI        1775-1799            Giovanni Angelo Braschi

251         Paus Pius VII      1800-1823            Barnaba-Gregorio-Chiaramonti

252         Paus Leo XII        1823-1829            Annibale della Genga

253         Paus Pius VIII     1829-1830            Fracesco Saverio Castiglioni

254         Paus Gregorius XVI         1831-1846            Bartolomeo Alberto-Mauro-Cappelari

255         Paus Pius IX        1846-1878            Giovanni M. Mastai-Ferretti

256         Paus Leo XIII      1878-1903            Gioacchino Pecci

257         Paus Santo Pius X             1903-1914            Giuseppe Sarto

258         Paus Benediktus XV        1914-1922            Giacomo della Chiesa

259         Paus Pius XI        1922-1939            Achille Ratti

260         Paus Pius XII       1939-1958            Eugenio Pacelli

261         Paus Yohanes XXIII          1958-1963            Angelo Giuseppe Roncalli

262         Paus Paulus VI   1963-1978            Giovanni Battista Montini

263         Paus Yohanes Paulus I   1978       Albino Luciani

264         Paus Yohanes Paulus II  1978-2005            Karol Jozef Wojtyla

265         Paus Benediktus XVI      2005-2013            Joseph Alois Ratzinger

266         Paus Fransiskus 2013-sekarang   Jorge Mario Bergoglio

Ardea, Negara Gereja[bg]

Orang Italia. Dikudeta dan dibunuh.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Menentang kepemimpinan Paus Leo V.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Masa "saeculum obscurum" dimulai. Paus pertama yang dimahkotai dengan tiara kepausan.

Roma, Negara Gereja[d]

Sabina, Negara Gereja[bh]

Castrum Thausignanum, Negara Gereja[bi]

Roma, Negara Gereja[d]

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Terkadang dikenal dengan nama regnal Stefanus VIII.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Menurut buku Liber Pontificalis dan keterangan Liutprandus dari Cremona, kemungkinan merupakan anak dari Paus Sergius III dan bukan dari Adipati Albericus I dari Spoleto, suami sah dari bangsawati Marozia.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Anggota Ordo Santo Benediktus.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Terkadang dikenal dengan nama regnal Stefanus IX.

Roma, Negara Gereja[d]

Roma, Negara Gereja[d]

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Paus ketiga yang tidak menggunakan nama pribadinya, yaitu Oktavianus (Octavianus). Diturunkan secara tidak sah pada tahun 963 oleh Kaisar Otto; akhir dari masa "saeculum obscurum". Kembali ke Roma pada awal tahun 964 dan Menentang kepemimpinan Paus Leo VIII, tetapi meninggal dunia beberapa bulan kemudian dengan kemungkinan karena dibunuh.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Ditunjuk sebagai antipaus oleh Kaisar Otto I pada tahun 963 untuk Menentang kepemimpinan Paus Yohanes XII dan Benediktus V. Masa kepausan setelah turunnya Paus Benediktus V dari takhta kepausan dianggap sah oleh Gereja Katolik modern.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Dipilih oleh rakyat Roma untuk Menentang kepemimpinan Paus Leo VIII yang diangkat oleh Kaisar Otto I; ia menerima dirinya diturunkan dari posisinya pada tahun 964 dan meninggalkan Paus Leo VIII sebagai satu-satunya pemegang takhta kepausan.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Masa kepausan dari tahun 963 hingga tahun 964 dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik masa kini, atau dengan kata lain ia menjadi antipaus pada masa tersebut. Ditunjuk oleh Kaisar Otto I, masa kepausannya berlangsung selama periode yang dikenal sebagai masa saeculum obscurum.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Diberi gelar "Yohanes Baik" setelah kematiannya.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Langobardi. Dikudeta dan dibunuh.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia, lahir dengan nama Franco Ferruccii. Pada masa kepausan pertamanya, Menentang kepemimpinan Paus Benediktus VI dan Benediktus VII.

Roma, Negara Gereja[d]

Papia, Kerajaan Italia, Kekaisaran Romawi Suci[bj]

Orang Italia. Paus keempat yang tidak menggunakan nama pribadinya (Petrus Canepanova).

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Pada masa kepausan keduanya, Menentang kepemimpinan Paus Yohanes XIV dan Yohanes XV.

Roma, Negara Gereja[d]

Orang Italia. Paus pertama yang secara resmi menganonisasi santo atau santa.

Stainach, Kadipaten Kärnten, Kekaisaran Romawi Suci[bk]

Paus Jerman resmi pertama dan paus kelima yang tidak menggunakan nama pribadinya (Bruno). Sejak keputusan itu, penggunaan nama regnal menjadi tradisi untuk para paus selanjutnya hingga saat ini.

Rossanum, Calabria, Italia, Kekaisaran Romawi Timur[aw]

Orang Yunani. Menentang kepemimpinan Paus Gregorius V.

Belliac, Kerajaan Prancis[bl]

Lahir dengan nama Gerbert, paus Prancis (Oksitan) pertama.

Sekang Wikipedia, Ensiklopedia Bebas sing nganggo Basa Banyumasan: dhialek Banyumas, Purbalingga, Tegal lan Purwokerto.

Kiye daftar Paus Gereja Katolik Roma:

Menurut Tradisi Suci Kristen Katolik, titik anjak sejarah Gereja Katolik adalah pribadi dan ajaran Yesus Kristus (sekitar tahun 4 SM sampai sekitar tahun 30 M), dan Gereja Katolik merupakan kesinambungan dari jemaat Kristen Purba bentukan murid-murid Yesus.[1] Gereja Katolik menghormati uskup-uskupnya sebagai para pengganti rasul-rasul Yesus, dan menghormati Uskup Roma sebagai satu-satunya pengganti Santo Petrus,[2] rasul yang berkarya di kota Roma pada abad pertama Masehi sesudah ditetapkan Yesus menjadi kepala Gereja.[3][4] Pada akhir abad ke-2, para uskup mulai menyelenggarakan musyawarah-musyawarah tingkat daerah guna menuntaskan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan ajaran dan kebijakan.[5] Pada abad ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung, penuntas perkara-perkara yang tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]

Agama Kristen tersebar ke seantero wilayah Kekaisaran Romawi, kendati dianiaya karena bertentangan dengan kepercayaan pagan yang kala itu berstatus agama negara. Aniaya baru reda sesudah agama Kristen dilegalkan Kaisar Konstantinus I pada tahun 313. Pada tahun 380, agama Kristen Katolik ditetapkan Kaisar Teodosius I menjadi agama negara Kekaisaran Romawi. Agama Kristen menjadi agama negara Kekaisaran Romawi sampai Kekaisaran Romawi Barat runtuh, dan bertahan menjadi agama negara Kekaisaran Romawi Timur sampai kota Konstantinopel jatuh ke tangan bangsa Turki. Konsili Oikumene yang pertama sampai dengan yang ke-7 terselenggara semasa agama Kristen menjadi agama negara. Menurut sejarawan Gereja, Eusebius, ada lima keuskupan terkemuka ketika itu, yakni keuskupan Roma, keuskupan Konstantinopel, keuskupan Antiokhia, keuskupan Yerusalem, dan keuskupan Aleksandria. Kelima keuskupan ini disebut Pancatantra (bahasa Yunani: Πενταρχία, Pentarkia; bahasa Latin: Pentarchia).

Pertempuran di Toulouse mampu mengekalkan eksistensi Gereja Katolik di belahan Dunia Barat, kendati Roma diluluhlantakkan pada tahun 850, dan Konstantinopel sudah terkepung. Pada abad ke-11, kerenggangan silaturahmi antara Gereja Yunani di Dunia Timur dan Gereja Latin di Dunia Barat akhirnya bermuara pada Skisma Akbar. Salah satu pemicunya adalah sengketa seputar ruang lingkup kewenangan Uskup Roma. Perang Salib IV dan aksi penjarahan kota Konstantinopel yang dilakukan Laskar Salib membuat keterpecahan ini menjadi paripurna. Pada abad ke-16, Gereja Katolik menanggapi gerakan Reformasi Protestan dengan gerakan pembaharuan internal yang dikenal dengan sebutan Kontra Reformasi.[7] Pada abad-abad selanjutnya, agama Kristen Katolik menyebar ke segenap penjuru dunia, kendati mengalami penurunan jumlah pemeluk di Eropa akibat pertumbuhan agama Kristen Protestan dan merajalelanya sikap skeptis terhadap agama pada Abad Pencerahan maupun sesudahnya. Konsili Vatikan II, yang diselenggarakan pada dasawarsa 1960-an, adalah konsili yang menghasilkan perubahan-perubahan terpenting di bidang amalan Gereja Katolik sesudah Konsili Trente yang diselenggarakan empat abad sebelumnya.

Menurut Tradisi Suci Kristen Katolik, pendiri Gereja Katolik adalah Yesus Kristus sendiri. Kitab Suci Perjanjian Baru meriwayatkan kiprah dan ajaran Yesus, bagaimana ia memilih kedua belas rasulnya, maupun amanatnya kepada mereka untuk melanjutkan karyanya.[8][9] Gereja Katolik mengajarkan bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para rasul pada hari Pentakosta adalah tonggak sejarah permulaan kiprah Gereja Katolik di muka umum.[10] Umat Katolik percaya bahwa Santo Petrus adalah Uskup Roma yang pertama, sekaligus rasul yang menahbiskan Linus menjadi Uskup Roma berikutnya, dan oleh karena itu merupakan cikal bakal dari suksesi apostolik tak terputus sampai kepada Uskup Roma saat ini, yakni Paus Fransiskus. Dengan kata lain, Gereja Katolik memelihara kesinambungan suksesi apostolik Uskup Roma selaku pengganti Santo Petrus, yang lazim dikenal dengan sebutan "Sri Paus".[11]

Menurut Injil Matius, Kristus menetapkan Petrus menjadi "cadas" landasan Gerejanya, karena ia mengakui Yesus sebagai Kristus.[12][13] Meskipun sebagian ahli sudah menandaskan bahwa Petrus adalah Uskup Roma yang pertama,[14][a] sebagian lainnya berpendapat bahwa keberadaan lembaga kepausan tidak bergantung pada keyakinan bahwa Petrus adalah Uskup Roma, bahkan tidak bergantung pula pada keyakinan bahwa Petrus pernah tinggal di Roma.[15] Banyak ahli meyakini bahwa struktur kepemimpinan Gereja Perdana di kota Roma mula-mula terdiri atas sekumpulan imam atau sekumpulan uskup, sebelum berkembang menjadi struktur kepemimpinan yang terdiri atas satu orang uskup dan sekumpulan imam pada abad ke-2,[16][b] dan sebutan "Uskup Roma" sesungguhnya baru kemudian hari dilekatkan para pujangga pada nama para mendiang rohaniwan Roma terkemuka, termasuk Petrus.[16] Bertolak dari pandangan semacam ini, Oscar Cullmann[18] dan Henry Chadwick[19] mempertanyakan keberadaan kaitan resmi antara Petrus dan lembaga kepausan modern, sementara Raymond E. Brown mengemukakan bahwa sekalipun penyebutan Petrus sebagai uskup lokal kota Roma dalah tindakan anakronistis, umat Kristen pada masa hidup Petrus sudah tentu menganggap Petrus memiliki "peran-peran tertentu yang menjadi pangkal perkembangan peran lembaga kepausan dalam Gereja pada masa-masa selanjutnya". Menurutnya, peran-peran tersebut "sangat mempengaruhi pembentukan anggapan bahwa Uskup Roma, uskup dari kota tempat Petrus wafat dan tempat Paulus bersaksi tentang kebenaran Kristus, adalah pengganti Petrus, pengemban tugas penggembalaan Gereja semesta".[16]

Keadaan Kekaisaran Romawi kala itu memang memungkinkan tersebarnya gagasan-gagasan baru. Jaringan jalan raya serta jaringan perhubungan laut dan perairan darat, yang dibina dan dipelihara dengan baik oleh negara, mempermudah orang untuk melakukan perjalanan jauh, sementara Pax Romana membuat orang leluasa bepergian dari satu daerah ke daerah lain tanpa perlu mengkhawatirkan gangguan keamanan. Pemerintah mendorong rakyat, terutama yang tinggal di kota-kota, untuk belajar bahasa Yunani. Penguasaan basantara ini memudahkan rakyat di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi untuk mengungkapkan gagasan masing-masing dan memahami gagasan orang lain.[20] Rasul-rasul Yesus mendapatkan pengikut-pengikut baru dari paguyuban-paguyuban umat Yahudi di seluruh Mediterania.[21] Pada tahun 100, sudah terbentuk kurang lebih 40 paguyuban umat Kristen.[22] Meskipun sebagian besar terbentuk di wilayah Kekaisaran Romawi, paguyuban-paguyuban umat Kristen juga terbentuk di Armenia, Iran, dan daerah Pesisir Malabar di India.[23][24] Agama baru ini memikat banyak orang, khususnya di kota-kota. Agama Kristen mula-mula tersiar di kalangan budak belian dan masyarakat kelas bawah, tetapi kemudian menyebar pula di kalangan bangsawati Romawi.[25]

Umat Kristen mula-mula beribadat bersama-sama dengan umat Yahudi, sehingga disebut umat Kristen Yahudi oleh para sejarawan, tetapi dalam jangka waktu dua puluh tahun sesudah Yesus wafat, hari Minggu dijadikan hari peribadatan utama.[26] Setelah para pewarta injil, semisal Paulus asal Tarsus, mulai mendapatkan pengikut baru dari kalangan non-Yahudi, ajaran Kristen lambat laun tercerabut dari amalan-amalan agama Yahudi[21] dan tumbuh menjadi agama tersendiri.[27] Kaitan Paulus dengan agama Yahudi masih menjadi pokok perdebatan sampai sekarang. Demi merukunkan perbedaan ajaran kedua kubu yang saling bersaing di dalam tubuh Gereja, para rasul menyelenggarakan muktamar tingkat dunia yang pertama dalam sejarah Gereja, yakni Konsili Yerusalem, sekitar tahun 50. Konsili ini menetapkan bahwa orang-orang non-Yahudi dibenarkan menjadi umat Kristen tanpa perlu mematuhi seluruh hukum Musa.[5] Ketegangan yang timbul tak lama kemudian kian memperlebar jarak antara umat Kristen dan umat Yahudi. Keterpisahan ini nyaris paripurna ketika umat Kristen menolak ikut berjuang membantu umat Yahudi dalam Pemberontakan Bar Kohba pada tahun 132.[28] Meskipun demikian, sejumlah paguyuban umat Kristen masih melestarikan unsur-unsur amalan agama Yahudi.[29]

Menurut beberapa sejarawan dan ahli, organisasi Gereja perdana tidaklah kaku, sehingga membuka peluang bagi munculnya bermacam-macam tafsir terhadap keyakinan-keyakinan Kristen.[30] Agar ajaran-ajarannya semakin mapan, paguyuban-paguyuban umat Kristen menciptakan hierarki yang lebih tertata menjelang akhir abad ke-2. Hierarki tersebut berpuncak pada satu orang uskup dengan kewenangan mengatasi semua rohaniwan di kota kediamannya.[31] Tatanan semacam ini terus berkembang, dan kemudian hari melahirkan jabatan uskup ibu kota (bahasa Yunani: μητροπολίτης, metropolites; bahasa Latin: metropolita). Organisasi Gereja pun mulai diserupakan dengan organisasi negara. Uskup-uskup di kota-kota penting dalam bidang politik memiliki kewenangan mengatasi uskup-uskup di kota-kota sekitarnya.[32] Gereja di kota Antiokhia, Aleksandria, dan Roma berada pada tataran yang paling tinggi.[33] Pada abad ke-2, uskup-uskup mulai sering berkumpul dan bermusyawarah dalam muktamar-muktamar tingkat daerah guna menuntaskan berbagai permasalahan seputar ajaran dan kebijakan.[5] Eamon Duffy berpendapat bahwa pada abad ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung, penuntas perkara-perkara yang tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]

Ajaran Gereja kian murni berkat jasa sejumlah teolog dan guru terpandang, yang disebut bapa-bapa Gereja.[34] Semenjak tahun 100, guru-guru proto-Ortodoks seperti Ignasius, Uskup Antiokhia, dan Ireneus, Uskup Lugdunum, merumuskan ajaran Katolik sedemikian rupa sehingga sangat bertolak belakang dengan ajaran-ajaran kerohanian lainnya, misalnya ajaran-ajaran Gnostik.[35] Ajaran dan tradisi Kristen disatupadukan di bawah pengaruh ahli-ahli hujah seperti Paus Klemens I, Yustinus Martir, dan Agustinus, Uskup Hipo.[36]

Berbeda dari kebanyakan agama lain di Kekaisaran Romawi, agama Kristen menuntut para pemeluknya untuk mendustakan semua ilah lain. Tuntutan ini adalah amalan yang diserap dari agama Yahudi. Penolakan untuk ikut serta merayakan hari-hari besar pagan membuat umat Kristen dengan sendirinya tersisih dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Warga non-Kristen, termasuk pejabat-pejabat pemerintah, khawatir sikap umat Kristen ini akan membangkitkan murka dewa-dewi, sehingga mengancam ketenteraman dan kesejahteraan negara. Selain itu, keakraban istimewa antarsesama pemeluk dan kerahasiaan amalan-amalan agama Kristen menimbulkan desas-desus bahwa umat Kristen mengamalkan sumbang pati dan kanibalisme. Kendati biasanya bersifat lokal dan sporadis, aksi-aksi penganiayaan terhadap umat Kristen yang timbul akibat desas-desus ini merupakan salah satu unsur pembentuk wawasan diri umat Kristen sampai agama Kristen dilegalkan pada abad ke-4.[37][38] Serangkaian aniaya yang lebih terencana terhadap umat Kristen dilancarkan pada akhir abad ke-3, ketika kaisar-kaisar memaklumkan kepada rakyat bahwa krisis militer, politik, dan ekonomi yang tengah melanda negara adalah wujud dari murka dewa-dewi. Semua orang yang tinggal di wilayah Kekaisaran Romawi diperintahkan untuk mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi dengan ancaman pidana.[39] Umat Yahudi dikecualikan dari perintah ini jika bersedia membayar pajak khusus Yahudi. Jumlah umat Kristen yang dihukum mati berkisar dari beberapa ratus sampai 50.000 jiwa.[40] Banyak orang terpaksa mengungsi,[41] bahkan murtad. Silang pendapat seputar status orang-orang murtad yang kembali ke haribaan Gereja menjadi pangkal dari skisma sempalan Donatisme dan sempalan Novasianisme.[42]

Sekalipun umat Kristen berulang kali dianiaya, usaha-usaha pewartaan Injil terus berjalan, dan pada akhirnya membuahkan Maklumat Milan tahun 313, yang melegalkan keberadaan agama Kristen di negara Kekaisaran Romawi.[43] Pada tahun 380, agama Kristen sudah menjadi agama negara Kekaisaran Romawi.[44] Dalam tulisannya, filsuf religius Simone Weil mengemukakan bahwa "pada zaman Konstantinus, pengharapan akan akhir zaman tentu sudah lumayan menipis. Kedatangan Kristus yang sudah di ambang pintu, yakni pengharapan akan hari kiamat, merupakan 'bahaya sosial yang sangat besar.' Selain itu, semangat hukum lama, yang begitu jauh berseberangan dengan segala hal yang berbau mistik, tidaklah terlampau berbeda dari semangat bangsa Romawi itu sendiri. Roma dapat menyelaraskan diri dengan Allah Semesta Alam."[45]

Ketika dinobatkan menjadi kaisar atas provinsi-provinsi wilayah barat Kekaisaran Romawi pada tahun 312, Konstantinus mengungkapkan bahwa kejayaan yang ia raih semata-mata adalah anugerah dari Allah yang disembah umat Kristen. Banyak prajurit dalam angkatan bersenjatanya adalah pemeluk agama Kristen, dan angkatan bersenjatanya adalah penopang kekuasaannya. Bersama Lisinius, kaisar atas provinsi-provinsi wilayah timur Kekaisaran Romawi, Konstantinus menerbitkan Maklumat Milan, yang mewajibkan sikap toleransi terhadap semua agama di Kekaisaran Romawi. Maklumat ini tidak banyak mempengaruhi sikap dan perilaku warga negara.[46] Berbagai undang-undang baru dirumuskan untuk membakukan beberapa pokok keyakinan dan amalan Kristen.[c][47] Jasa terbesar Konstantinus bagi agama Kristen adalah pengayomannya. Ia menghibahkan tanah maupun dana dalam jumlah besar kepada Gereja, serta menganugerahkan pengecualian pajak dan berbagai keistimewaan lain atas harta benda Gereja maupun kepada para rohaniwan.[48] Semua anugerah tersebut maupun anugerah-anugerah lain yang kemudian hari diterima Gereja membuat Gereja menjadi pemilik tanah terluas di wilayah barat Kekaisaran Romawi pada abad ke-6.[49] Banyak dari anugerah-anugerah tersebut berasal dari pajak yang dibebankan atas lembaga-lembaga amal pagan.[48] Sejumlah lembaga amal ini terpaksa bubar akibat kekurangan dana, sehingga peran mereka selaku penyantun fakir miskin diambil alih Gereja.[50] Sebagai cerminan dari kedudukan yang kian menanjak naik di tengah masyarakat Kekaisaran Romawi, kaum rohaniwan mulai berpakaian selayaknya orang-orang di lingkungan istana, antara lain dengan mengenakan korkap.[51]

Pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus, kira-kira separuh dari orang-orang yang mengaku memeluk agama Kristen tidak tergolong anggota jemaat Kristen arus utama.[52] Karena khawatir ketidakbersatuan umat Kristen tidak berkenan kepada Allah dan akan mendatangkan malapetaka bagi negara, Kaisar Konstantinus membubarkan sejumlah sempalan Kristen lewat aksi militer maupun jalur hukum.[53] Untuk menyelesaikan berbagai sengketa lain, Kaisar Konstantinus memprakarsai penyelenggaraan konsili oikumene, muktamar waligereja sedunia, guna menetapkan tafsir-tafsir doktrin Gereja yang bersifat mengikat.[54]

Ketetapan mengenai keilahian Kristus yang dihasilkan Konsili Nicea pada tahun 325 menimbulkan skisma. Sempalan baru, yang disebut Arianisme, berkembang di luar wilayah Kekaisaran Romawi.[55] Guna membedakan dirinya dari kaum penganut Arianisme, Gereja Katolik mengedepankan devosi kepada Bunda Maria. Kebijakan ini justru menimbulkan skisma-skisma baru.[56][57]

Pada tahun 380, agama Kristen arus utama, lawan dari sempalan Arianisme, dijadikan agama resmi negara Kekaisaran Romawi.[58] Agama Kristen kian lama kian identik dengan negara Kekaisaran Romawi, sampai-sampai menjadi biang keladi penganiayaan terhadap umat Kristen di negara-negara lain, lantaran para penguasa di negara-negara tersebut khawatir umat Kristen akan memberontak demi mendukung Kaisar Romawi.[59] Dengan status dan kewenangan barunya selaku agama resmi negara, Gereja menjatuhkan pidana mati sebagai hukuman bagi ahli bidah Kristen untuk pertama kalinya pada tahun 385, yakni pidana mati kepada Prisilianus.[60]

Pada kurun waktu inilah, senarai kitab-kitab yang patut dihormati sebagai Kitab Suci untuk pertama kalinya ditetapkan dalam konsili-konsili atau sinode-sinode waligereja melalui tahap-tahap 'kanonisasi' resmi. Sebelum konsili-konsili atau sinode-sinode ini diselenggaraan, susunan kitab-kitab yang dianggap suci sudah hampir sama dengan susunan Alkitab yang ada sekarang ini. Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis, Konsili Roma secara resmi mengakui kanon Alkitab untuk pertama kalinya pada tahun 382, dengan menetapkan daftar kitab sahih Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin, yang dikenal dengan sebutan Vulgata, dikerjakan pada tahun 391.[61] Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis lain, Konsili Kartago tahun 397 adalah konsili yang menetapkan susunan Alkitab yang paripurna sebagaimana yang ada sekarang ini.[62] Konsili Efesus tahun 431 mempertegas kodrat inkarnasi Yesus, dengan menyatakan bahwa Yesus adalah manusia yang seutuhnya sekaligus Allah yang seutuhnya.[63] Dua dasawarsa kemudian, Konsili Kalsedon mengukuhkan primasi Paus Roma, sehingga kian meretakkan hubungan baik antara Roma dan Konstantinopel, pusat utama Gereja Timur.[64] Selain itu, muncul pula sengketa monofisitisme tentang bagaimana persisnya kodrat inkarnasi Yesus. Sengketa ini bermuara pada perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja yang tergabung dalam persekutuan Gereja Ortodoks Oriental.[65]

Sesudah pemerintahan wilayah barat Kekaisaran Romawi tumbang pada tahun 476, agama Kristen Katolik bersaing dengan sempalan Arianisme dalam mencari pengikut baru dari suku-suku barbar.[66] Agama Kristen Katolik mulai berkembang dengan lancar di kawasan barat Eropa sesudah Klovis I, raja orang Franka, melepaskan kepercayaan nenek moyangnya dan memeluk agama Kristen Katolik pada tahun 496.[67]

Pada tahun 530, Santo Benediktus menyusun Regula Benediktus sebagai panduan praktis dalam menjalani kehidupan sehari-hari di biara. Regula ini tersebar ke biara-biara di seantero Eropa.[68] Biara-biara menjadi saluran utama peradaban yang melestarikan berbagai keterampilan, kemahiran, dan budaya intelektual di sekolah-sekolah, skriptorium-skriptorium, dan perpustakaan-perpustakaannya. Selain menjadi pusat kehidupan rohani, biara-biara juga menjadi pusat kegiatan pertanian, ekonomi, dan produksi.[69] Pada kurun waktu inilah orang Visigoth dan orang Lombardi meninggalkan sempalan Arianisme dan memeluk agama Kristen Katolik.[67] Paus Gregorius Agung sangat berjasa mengubah keyakinan orang Visigoth dan orang Lombardi, menata ulang struktur dan administrasi Gereja, serta melancarkan usaha-usaha baru untuk menyebarkan agama Kristen.[70] Pada abad-abad selanjutnya, misionaris-misionaris dari Roma (misalnya Santo Agustinus dari Canterbury yang diutus untuk menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah suku bangsa Angli-Saksen) maupun misionaris-misionaris dari Irlandia dan Skotlandia (antara lain Santo Kolumbanus, Santo Bonifasius, Santo Wilibrordus, Santo Anskarius) menyiarkan agama Kristen sampai ke kawasan utara Eropa, dan mewartakan iman Katolik kepada suku-suku Jermani, suku-suku Slav, dan suku Viking maupun suku-suku lain di Skandinavia.[71] Sekalipun tidak bersifat mutlak sebagaimana yang diklaim sebagian pihak, Sinode Whitby tahun 664 adalah peristiwa penting yang menyatukan kembali Gereja Kelt di Kepulauan Inggris dengan hierarki Gereja Roma, sesudah putus hubungan akibat invasi suku-suku pagan. Di Italia, akta hibah Sutri tahun 728 dan akta hibah Pipin tahun 756 membuat Sri Paus menjadi penguasa sebuah kerajaan dengan wilayah yang cukup luas. Akta hibah Konstantinus, yang mungkin sekali direkayasa pada abad ke-8, semakin mengukuhkan kekuasaan Sri Paus atas bekas wilayah barat Kekaisaran Romawi.

Pada permulaan abad ke-8, kebijakan anti-ikon di Romawi Timur menjadi biang keladi utama sengketa antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Kaisar-kaisar Romawi Timur melarang warganya membuat maupun menghormati gambar orang-orang suci, karena dinilai menyalahi Dasa Titah. Agama-agama besar lain di Dunia Timur, seperti agama Yahudi dan agama Islam, juga memiliki larangan serupa. Paus Gregorius III menentang keras larangan ini.[72] Irene, permaisuri kaisar baru yang sehaluan dengan Sri Paus, menggelar sebuah konsili oikumene untuk menuntaskan permasalahan ini. Pada tahun 787, bapa-bapa (waligereja yang menghadiri) Konsili Nikea II "menyambut hangat kedatangan rombongan perutusan yang membawa surat dari Sri Paus".[73] Dalam sidang penutup yang dipimpin wakil-wakil Paus Hadrianus I,[74] 300 bapa konsili "menerima ajaran Sri Paus"[73] yang membenarkan tindakan membuat dan menghormati ikon.

Dengan penobatan Karel Agung oleh Paus Leo III pada tahun 800, maupun pemberian gelar Patricius Romanorum dan penyerahan kunci Makam Santo Petrus kepadanya, lembaga kepausan mendapatkan pengayom baru di belahan Dunia Barat. Dukungan pengayom baru membuat para paus sampai taraf tertentu merdeka dari kekuasaan kaisar di Konstantinopel, tetapi pengayom baru juga menjadi salah satu sebab Skisma Akbar. Sedari awal perjalanan sejarah Gereja, para Kaisar Romawi Timur dan para Batrik Konstantinopel memandang diri mereka sebagai penerus sejati Kekaisaran Romawi.[75] Ketika Paus Nikolaus I menolak mengakui kesahihan jabatan Batrik Konstantinopel yang disandang Fotios I, Sang Batrik pun menuding Sri Paus sebagai ahli bidah karena mempertahankan frasa filioque dalam syahadat, yang ia anggap sama saja dengan percaya bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa "dan Putra". Dukungan pengayom baru memang memperkuat lembaga kepausan, tetapi dalam jangka panjang justru menciptakan masalah baru bagi para paus, yakni kontroversi investitur, ketika para Kaisar Romawi Suci berusaha menempatkan orang-orang kepercayaannya pada jabatan uskup, bahkan jabatan paus.[76][77] Sesudah Kekaisaran Wangsa Karoling terpecah belah, dan pasukan-pasukan Muslim mulai gencar merongrong Semenanjung Italia, lembaga kepausan pun memasuki kurun waktu ketidakberdayaan tanpa pengayom sama sekali.[78]

Usaha pembaharuan biara yang berlangsung Cluny pada tahun 910 menundukkan para abas di bawah kendali langsung Sri Paus, alih-alih di bawah kendali penguasa-penguasa feodal, dan dengan demikian menghilangkan salah satu biang keladi utama korupsi. Kenyataan ini memicu pembaharuan besar-besaran di biara-biara.[79] Baik biara-biara, rumah-rumah tarekat, maupun gereja-gereja katedral masih tetap menjalankan hampir semua sekolah serta perpustakaan, dan kerap menjalankan pula usaha simpan-pinjam yang mendorong pertumbuhan ekonomi.[80][81] Selepas tahun 1100, beberapa sekolah katedral dipecah menjadi sekolah tata bahasa dan sekolah tinggi yang mengajarkan mata-mata pelajaran lanjutan. Banyak dari sekolah-sekolah tinggi tersebut berkembang menjadi universitas, leluhur lembaga-lembaga pendidikan modern di Dunia Barat. Perkembangan ini mula-mula berlangsung di Bologna, disusul Paris dan Oxford.[82] Di universitas-universitas inilah para teolog terkemuka berusaha menjelaskan hubungan pengalaman hidup dengan iman manusia.[83] Santo Tomas Aquinas, teolog yang paling terkemuka, menghasilkan Summa Theologica, karya ilmiah penting yang merupakan sintesis filsafat Aristoteles dan injil.[83] Sumbangsih biara bagi masyarakat Dunia Barat mencakup penyebarluasan kepandaian mengolah logam, budi daya tanaman-tanaman pangan baru, penciptaan notasi musik, dan penyusunan maupun pelestarian karya-karya sastra.[82]

Skisma Akbar yang memecah belah agama Kristen terjadi pada abad ke-11.[84] Skisma ini timbul akibat sengketa antara Konstantinopel dan Roma mengenai siapa yang berwenang membawahi Gereja di Sisilia, dan bermuara pada aksi saling ekskomunikasi pada tahun 1054.[84] Sejak saat itu, umat Kristen Latin dikenal dengan sebutan Gereja Katolik, dan umat Kristen Yunani dikenal dengan sebutan Gereja Ortodoks.[85][86] Baik Konsili Lyon II tahun 1274 maupun Konsili Firenze tahun 1439 gagal merukunkan kedua belah pihak.[87] Beberapa Gereja Timur telah kembali bersatu dengan Gereja Katolik, dan beberapa Gereja Timur lain mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.[86][88] Secara resmi, kedua Gereja belum kembali bersatu, tetapi kedua belah pihak sudah menarik kembali pernyataan ekskomunikasi masing-masing pada tahun 1965.[89]

Pada abad ke-11, timbul kontroversi investitur antara Kaisar Romawi Suci dan Sri Paus, yakni sengketa mengenai hak mengangkat petinggi Gereja. Sengketa ini adalah tahap pertama dalam pertikaian berkepanjangan antara Gereja dan negara di Eropa pada Abad Pertengahan. Mula-mula lembaga kepausan tampil sebagai pihak yang unggul, tetapi karena masyarakat Italia terbelah menjadi golongan Guelfi dan golongan Gibellini yang sering kali diteruskan ke anak cucu sampai akhir Abad Pertengahan, lembaga kepausan lambat laun menjadi pihak yang lemah, terutama karena sengketa ini menyeret lembaga kepausan ke tengah arena politik. Gereja juga berusaha mengendalikan, atau mengutip pungutan dari perkawinan di kalangan ningrat dengan mengeluarkan larangan kawin sampai tujuh lapis turunan bagi pasangan dari dua keluarga sedarah (konsanguinitas) dan pasangan dari dua keluarga semenda (afinitas) pada tahun 1059. Dengan adanya larangan-larangan tersebut, hampir semua perkawinan di kalangan ningrat harus mendapatkan dispensasi dari Sri Paus. Pada tahun 1215, larangan-larangan ini dibatasi sampai empat lapis turunan saja, dan sekarang hanya terbatas pada satu satu lapis turunan, misalnya seorang laki-laki diharamkan mengawini putri tirinya.

Paus Urbanus II melancarkan Perang Salib yang pertama pada tahun 1095, setelah menerima permohonan bantuan dari Kaisar Romawi Timur Aleksios Komnenos untuk membendung invasi bangsa Turki.[90] Paus Urbanus juga yakin bahwa Perang Salib dapat membantu merukunkan Gereja Barat dengan Gereja Timur.[91][92] Laporan-laporan tentang kezaliman kaum Muslim terhadap umat Kristen[93] memicu pelancaran serangkaian kampanye militer mulai tahun 1096, yang dikenal dengan sebutan Perang Salib. Kampanye-kampanye militer ini dilancarkan dengan tujuan memulihkan kekuasaan umat Kristen atas Tanah Suci. Tujuan ini tidak kunjung terwujud secara permanen, dan aksi-aksi kejam yang dilakukan angkatan bersenjata kedua belak pihak meninggalkan warisan sikap saling curiga di antara umat Islam dan umat Kristen Gereja Barat maupun Gereja Timur.[94] Aksi penjarahan kota Konstantinopel yang terjadi pada masa Perang Salib IV membuat umat Kristen Timur merasa sangat terpukul dan kecewa, meskipun tahu bahwa Paus Inosensius III secara terang-terangan melarang aksi tersebut.[95] Pada tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II memohon umat Kristen Ortodoks untuk mengampuni dosa-dosa umat Katolik, termasuk aksi penjarahan kota Konstantinopel tahun 1204.[96]

Ada dua langgam arsitektur gereja yang lahir pada kurun waktu ini. Langgam arsitektur yang lahir lebih dulu adalah langgam Romawi, yakni gaya arsitektur yang memadukan dinding-dinding raksasa dengan pelengkung-pelengkung bundar dan langit-langit batu. Ketiadaan jendela-jendela berukuran besar diimbangi dengan lukisan-lukisan berwarna-warni pada dinding ruangan yang bertemakan kisah-kisah Alkitab dan riwayat hidup orang-orang kudus. Basilika Saint-Denis menandai kemunculan trend baru di bidang arsitektur katedral, karena dibangun menggunakan gaya arsitektur Gothik.[97] Gaya arsitektur yang menghadirkan jendela-jendela besar serta pelengkung-pelengkung yang lancip dan tinggi ini membuat pencahayaan ruangan maupun keselarasan geometri bangunan menjadi lebih baik, dengan maksud untuk mengarahkan pikiran umat kepada Allah, "Sang Mahapengatur".[97] Pada abad ke-12, lahir empat tarekat kerahiban baru yang sebagian besar anggotanya berkiprah sebagai kesatria-kesatria militer dalam Perang Salib.[98] Santo Bernardus dari Clairvaux, rahib tarekat Sistersien, sangat besar pengaruhnya terhadap tarekat-tarekat baru ini, dan memprakarsai usaha-usaha pembaharuan demi memastikan kemurnian tujuan pembentukannya.[98] Berkat pengaruhnya yang besar, Paus Aleksander III melancarkan usaha-usaha pembaharuan yang melahirkan hukum kanon.[99] Pada abad berikutnya, Francesco di Bernardone dan Domingo de Guzmán mendirikan tarekat-tarekat fakir baru yang menghadirkan cara hidup bakti di tengah-tengah lingkungan perkotaan.[100]

Pada abad ke-12, muncul sempalan Katarisme di Languedoc, Prancis. Usaha-usaha untuk menanggulangi ajaran bidah inilah yang melahirkan lembaga inkuisisi. Setelah kaum Katar didakwa membunuh seorang utusan paus pada tahun 1208, Paus Inosensius III melancarkan Perang Salib Albigenses.[101] Berbagai tindakan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama berlangsungnya Perang Salib ini mendorong Paus Inosensius III untuk membentuk lembaga inkuisisi kepausan secara informal guna mencegah tindakan-tindakan pembantaian lanjutan dan memberantas sisa-sisa kaum Katar sampai ke akar-akarnya.[102][103] Pada masa-masa jayanya, sesudah diformalisasi Paus Gregorius IX, lembaga inkuisisi Abad Pertengahan ini menghukum mati rata-rata tiga orang per tahun.[103][104] Seiring waktu, aksi-aksi inkuisisi lain juga dilancarkan

Gereja atau penguasa sekuler untuk menindas ahli bidah, untuk menghadapi ancaman invasi orang Moro, maupun untuk tujuan-tujuan politik.[105] Para terdakwa bidah diimbau untuk mengingkari kesesatannya jika ingin terhindar dari hukuman penitensi, denda, kurungan, atau bakar hidup-hidup.[105][106]

Pada abad ke-14, pertentangan antara Gereja dan negara kian menjadi-jadi. Untuk melepaskan diri dari keadaan kalut di Roma, Paus Klemens V pindah ke Prancis pada tahun 1309, dan menjadi paus pertama dari tujuh orang paus yang bermastautin di kota benteng Avignon, kawasan selatan Prancis.[107] Kurun waktu ketika lembaga kepausan berkedudukan di Avignon disebut sebagai zaman kepausan Avignon. Sri Paus kembali bermastautin di kota Roma pada tahun 1378 atas desakan Katarina dari Siena dan tokoh-tokoh lain yang merasa Takhta Santo Petrus sepatutnya berada di Roma.[108][109] Sidang pemilihan paus baru, yang digelar menyusul kemangkatan Paus Gregorius XI pada tahun itu, menjadi pokok pertentangan antara kubu pendukung calon paus berkebangsaan Italia dan kubu pendukung calon paus berkebangsaan Prancis yang bermuara pada Skisma Barat. Selama 38 tahun, ada dua orang paus yang menjabat secara bersamaan, seorang di Roma, dan seorang lagi di Avignon. Usaha rujuk justru memperumit masalah, karena memunculkan paus ketiga pada tahun 1409, yang tadinya direncakan menjadi satu-satunya paus yang dapat diterima semua pihak.[110] Masalah baru terpecahkan pada tahun 1417 dalam Konsili Konstanz. Para kardinal peserta konsili mengimbau ketiga paus yang ada untuk meletakkan jabatan, kemudian menggelar sidang pemilihan paus baru yang berakhir dengan terpilihnya Paus Martinus V.[110]

Selama abad ke-15 dan awal abad ke-16, misionaris-misionaris dan penjelajah-penjelajah Eropa menyebarkan agama Kristen Katolik ke Benua Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania. Dengan menerbitkan bula Inter Caetera, Paus Aleksander VI menganugerahkan hak jajah atas sebagian besar daerah yang baru ditemukan kepada Spanyol dan Portugal.[111] Di bawah sistem patronato (bahasa Portugis: padroado), pejabat-pejabat negara mengatur pengangkatan rohaniwan dan membatasi hubungan langsung dengan Vatikan.[112] Pada bulan Desember 1511, Antonio de Montesinos, seorang frater dari tarekat Dominikan, secara terbuka mengecam pejabat-pejabat pemerintah Spanyol di Ispanyola karena memperlakukan orang-orang pribumi Amerika dengan semena-mena. Ia berkata, "... kamu sekalian sudah berdosa besar ... karena kekejaman dan tirani yang kamu gunakan dalam berurusan dengan orang-orang tak berdosa ini".[113][114][115] Menjawab kecaman tersebut, Raja Fernando memberlakukan Undang-Undang Burgos dan Undang-Undang Valladolid. Penerapannya tidak tegas, dan meskipun sebagian pihak menyalahkan Gereja karena tidak berbuat banyak demi kebebasan orang-orang Indian, pihak-pihak lain justru menegaskan bahwa Gerejalah satu-satunya lembaga yang menyuarakan kepentingan orang-orang pribumi.[116] Isu ini menimbulkan krisis hati nurani di spanyol pada abad ke-16.[115][117] Banyaknya swakritik dan renungan filsafati yang dikemukakan para teolog Katolik, teristimewa dari Francisco de Vitoria, memunculkan perdebatan mengenai hakikat hak-hak manusia[115] dan melahirkan hukum internasional modern.[118][119]

Pada tahun 1521, berkat kepemimpinan dan usaha pewartaan penjelajah Portugis, Fernão de Magalhães, untuk pertama kalinya dilangsungkan pembaptisan orang-orang pribumi yang kemudian hari menjadi bangsa Kristen pertama di Asia Tenggara, yakni bangsa Filipina.[120] Pada tahun berikutnya, misionaris-misionaris Fransiskan tiba di negeri yang kini bernama Meksiko. Mereka berusaha mengajak orang-orang Indian setempat untuk memeluk agama Kristen Katolik, tetapi juga berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mendirikan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit. Orang-orang Indian mereka ajari metode-metode bercocok tanam yang lebih baik dan cara-cara yang lebih mudah untuk menenun dan membuat gerabah. Karena ada sebagian orang yang masih meragukan bahwa bangsa Indian sungguh-sungguh manusia, Paus Paulus III menerbitkan bula Veritas Ipsa atau Sublimis Deus pada tahun 1537 untuk menegaskan bahwa bangsa Indian patut diperlakukan sebagai manusia.[121][122] Semenjak terbitnya bula tersebut, usaha penyebaran agama Kristen Katolik mulai mebuahkan hasil.[123] Dalam rentang waktu 150 tahun berikutnya, usaha misi meluas sampai ke kawasan barat laut Amerika Utara.[124] Orang-orang pribumi secara legal didefinisikan sebagai kanak-kanak, dan para imam memegang peran ayah, yang sering kali dikukuhkan dengan penerapan hukuman badan.[125] Di India, misionaris-misionaris Portugis dan imam Yesuit asal Spanyol, Fransiskus Xaverius, mewartakan Injil kepada orang-orang non-Kristen maupun komunitas-komunitas Kristen India yang mengaku sebagai komunitas-komunitas bentukan Rasul Tomas.[126]

Di Eropa, Renaisans menandai kemunculan kembali minat orang terhadap ilmu pengetahuan Abad Kuno dan Abad Klasik. Renaisans juga merupakan kurun waktu ketika orang mulai mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut. Katedral-katedral dan gereja-gereja sudah lama menjadi semacam buku bergambar dan galeri seni bagi jutaan orang yang tidak berpendidikan. Jendela-jendela kaca patri, fresko-fresko, patung-patung, lukisan-lukisan, dan panel-panel bergambar menceritakan kembali kisah hidup orang-orang kudus dan tokoh-tokoh Alkitab. Gereja mensponsori seniman-seniman besar Renaisans seperti Michelangelo dan Leonardo da Vinci, pecipta sejumlah karya seni yang terkenal di seluruh dunia.[127] Meskipun para pemimpin Gereja mampu mengarahkan seni rupa yang terinspirasi humanisme Renaisans untuk kepentingan Gereja, ada juga konflik-konflik antara kaum rohaniwan dan kaum humanis, misalnya konflik yang timbul sewaktu digelarnya sidang pengadilan ahli bidah terhadap Johann Reuchlin. Pada tahun 1509, cendekiawan Renaisans ternama, Desiderius Erasmus, menulis Pujian kepada Kebodohan, sebuah karya tulis yang merangkum keresahan masyarakat akan korupsi yang merajalela di dalam tubuh Gereja.[128] Lembaga kepausan sendiri dipertanyakan kaum konsiliarisme dalam Konsili Konstanz maupun Konsili Basel. Usaha-usaha pembaharuan yang nyata diusulkan dalam sidang kedua konsili oikumene tersebut maupun dalam Konsili Lateran V, tetapi dimentahkan. Usaha-usaha tersebut dipandang perlu tetapi tidak membuahkan hasil dalam skala besar karena adanya perseteruan internal,[129] konflik-konflik dengan Kekaisaran Turki Utsmaniyah maupun kaum Sarasen,[129] dan praktik simoni maupun nepotisme yang merajalela di dalam tubuh Gereja pada abad ke-15 dan awal abad ke-16.[130] Akibatnya, tokoh-tokoh duniawi yang kaya dan berkuasa seperti Roderigo Borgia (Paus Aleksander VI) dapat terpilih menjadi paus.[130][131]

Konsili Lateran V hanya melahirkan segelintir usaha pembaharuan pada bulan Maret 1517. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther menerbitkan Sembilan Puluh Lima Dalil-nya, dengan harapan dapat mencetuskan perdebatan.[132][133] Dalil-dalilnya memprotes pokok-pokok doktrin Gereja Katolik maupun praktik jual beli indulgensi.[132][133] Hulderikus Zwingli, Yohanes Calvin, dan beberapa tokoh lain juga mengecam ajaran-ajaran Gereja Katolik. Penentangan-penentangan tersebut didukung penguasa-penguasa lokal, dan berkembang menjadi gerakan Reformasi Protestan.[134][135] Pada kurun waktu ini, banyak orang beremigrasi meninggalkan kampung halamannya ke daerah-daerah yang menoleransi atau menganut keyakinan yang sama dengannya, kendati ada pula yang bertahan tinggal dan menjadi kaum kripto-Protestan atau orang Nikodemit.

Di Jerman, gerakan reformasi menyulut perang antara Liga Schmalkalden selaku pihak Protestan melawan Kaisar Kaisar Karel V selaku pihak Katolik. Perang sembilan tahun antara kedua belah pihak berakhir pada tahun 1555, tetapi ketegangan yang masih membara akhirnya menyulut konflik yang lebih besar lagi, yakni Perang Tiga Puluh Tahun, yang meletus pada tahun 1618.[136] Di Negeri Belanda, perang-perang Kontra-Reformasi adalah Pemberontakan Rakyat Belanda dan Perang Delapan Puluh Tahun yang juga mencakup Perang Suksesi Kepemimpinan Kadipaten Gulik. Perang Köln (1583–1589) adalah konflik antara faksi Protestan dan faksi Katolik di Swapraja Kurfürstentum Köln. Ketika Gebhard Truchsess von Waldburg, uskup agung yang mengepalai Swapraja Kurfürstentum Köln, berganti keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen Protestan, umat Katolik memilih Ernst von Bayern menjadi Uskup Agung Köln yang baru. Ernst von Bayern berhasil mengalahkan Gebhard Truchsess von Waldburg beserta sekutu-sekutunya.

Di Prancis, serangkaian konflik yang disebut Perang Agama di Prancis antara kaum Huguenot dan Liga Katolik berlangsung dari tahun 1562 sampai tahun 1598. Beberapa paus memihak dan menjadi penyandang dana Liga Katolik.[137] Perang Agama di Prancis berakhir pada masa jabatan Paus Klemens VIII. Sri Paus terpaksa menerima isi Maklumat Nantes yang dikeluarkan Raja Henry IV pada tahun 1598. Maklumat Nantes menjamin toleransi sipil maupun toleransi beragama terhadap umat Protestan.[136][137] Pada tahun 1565, beberapa ratus penumpang Huguenot yang selamat dari kapal karam menyerah kepada pemerintah koloni Spanyol di Florida karena yakin akan diperlakukan dengan baik. Selain beberapa orang Katolik, semua tawanan asal Prancis tersebut dihukum mati sebagai ahli bidah, dengan partisipasi aktif rohaniwan.[138]

Reformasi Inggris tampaknya dilandasi keinginan Raja Henry VIII untuk menganulir perkawinannya dengan Catalina de Aragón, dan mula-mula lebih bersifat politik meskipun kemudian hari menjadi perkara teologi.[140] Undang-Undang Supremasi menjadikan kepala monarki Inggris sebagai kepala Gereja Inggris dan oleh karena itu membentuk Gereja Inggris. Kemudian sejak tahun 1536, sekitar 825 biara di seluruh Inggris, Wales, dan Irlandia disegel dan gereja-gereja Katolik disita negara.[141][142] Ketika Raja Henry VIII mangkat pada tahun 1547, seluruh biara, frateran, susteran, dan tempat-tempat suci dihancurkan atau disegel.[142][143] Ratu Mary I memulihkan kesatuan Gereja Inggris dengan Roma, dan (bertentangan dengan saran dari duta besar Spanyol) menganiaya umat Protestan pada masa pemerintahannya.[144][145] Sesudah beberapa kali diprovokasi, Ratu Elizabeth I, pengganti Ratu Mary I, memberlakukan Undang-Undang Supremasi. Undang-undang ini mengharamkan pemeluk agama Katolik menjadi anggota asosiasi-asosiasi profesional, menjadi pejabat publik, memiliki hak suara, maupun mendidik anak-anak mereka.[144][146] Ratu Elizabeth I jauh lebih lama memerintah dibanding Ratu Mary I, dan jumlah umat Katolik maupun umat Protestan aliran lain yang dihukum mati pada masa pemerintahannya melampaui jumlah korban penganiayaan pada masa pemerintahan pendahulunya.[144] Aniaya yang bermula pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth diteruskan para penggantinya.[147] Ratu Elizabeth I juga memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana di Irlandia[148] kendati tidak seefektif di Inggris.[144][149] Karena agama Kristen Katolik sudah mengakar dalam kehidupan berbangsa dan dianggap sebagai salah satu unsur identitas bangsa di Irlandia, rakyat Irlandia terus bertahan melawan usaha gencar Inggris untuk melenyapkan Gereja Katolik.[144][149]

Dalam bukunya yang berjudul The Reformation, A History, sejarawan Diarmaid MacCulloch mengemukakan pandangannya bahwa semua pembantaian yang terjadi pada era Reformasi melahirkan konsep toleransi beragama dan Gereja Katolik yang lebih baik,[150] yang merespon tantangan-tantangan terhadap doktrin dan penyelewengan-penyelewengan yang diungkit gerakan reformasi ke permukaan dalam Konsili Trento (1545–1563). Konsili inilah yang mencetuskan Kontra-Reformasi serta menegaskan kembali doktrin-doktrin pokok Kristen Katolik seperti transubstansiasi dan perlunya kasih, pengharapan, maupun iman untuk mencapai keselamatan.[151] Konsili Trento juga mereformasi banyak bidang lain yang penting bagi Gereja, khususnya melalui perbaikan mutu pendidikan rohaniwan dan konsolidasi yurisdiksi terpusat Kuria Romawi.[7][151][152]

Pada beberapa dasawarsa sesudah penyelenggaraan Konsili Trento, timbul sengketa ilmiah antara Martin Chemnitz dari kubu Lutheran dan Diogo de Payva de Andrada dari kubu Katolik mengenai selaras tidaknya pernyataan-pernyataan tertentu dengan ajaran bapa-bapa Gereja dan Kitab Suci. Kritik-Kritik yang dimunculkan gerakan reformasi adalah salah satu faktor yang membidani lahirnya tarekat-tarekat religius baru, antara lain tarekat Teatin, Barnabit, dan Yesuit. Beberapa dari tarekat-tarekat tersebut kemudian hari menjadi tarekat-tarekat misi ternama.[153] Pembaharuan dan penataan kembali kehidupan rohani terinspirasi karya-karya tulis orang-orang kudus baru (seperti Teresa dari Avila, Fransiskus de Sales, dan Filipus Neri) yang memunculkan beragam aliran kerohanian di dalam Gereja (serikat Oratorian, tarekat Karmelit, tarekat Salesian, dll).[154] Perkembangan positif lain yang muncul pada kurun waktu ini adalah meningkatnya mutu pendidikan umat awam seiring maraknya pendirian sekolah-sekolah menengah yang menghidupkan kembali mata-mata pelajaran tingkat lanjut seperti sejarah, filsafat, dan teologi.[155] Untuk memasyarakatkan ajaran-ajaran Kontra-Reformasi, Gereja mendukung penerapan gaya Barok dalam penciptaan karya-karya seni rupa, seni musik, dan arsitektur. Penerapan gaya Barok di untuk kepentingan agama menghasilkan karya-karya yang mampu menyentuh lubuk hati dan menggugah keimanan.[156]

Sementara itu, Fransiskus Xaverius, misionaris Yesuit asal Navarra, membawa masuk agama Kristen Katolik ke Negeri Matahari Terbit, dan pada akhir abad ke-16, berlaksa-laksa rakyat Jepang telah menjadi umat Katolik. Pertumbuhan Gereja di Jepang mandek pada tahun 1597. Dalam rangka mengisolasi negeri Jepang dari pengaruh asing, Syogun Toyotomi Hideyosyi melancarkan aksi penganiayaan yang sangat kejam terhadap umat Kristen.[157] Bangsa Jepang dilarang meninggalkan tanah airnya dan bangsa Eropa dilarang masuk ke Jepang. Meskipun demikian, populasi kecil umat Kristen Jepang mampu bertahan menyintasi zaman sampai Jepang mulai membuka pintunya bagi dunia luar pada ke-19, dan masih tetap eksis sampai sekarang.[157][158]

Konsili Trento menngobarkan kembali semangat hidup zuhud dan devosi-devosi kepada Bunda Maria dalam Gereja Katolik. Pada masa-masa Reformasi Protestan, Gereja Katolik membela keyakinan-keyakinannya tentang Bunda Maria terhadap pandangan-pandangan Protestan. Pada waktu yang sama, negara-negara Katolik berperang melawan Kekaisaran Turki Utsmaniyah dan mampu berjaya karena keberkahan syafaat Santa Perawan Maria. Kemenangan yang diraih dalam Pertempuran Lepanto (1571) diyakini sebagai anugerah Allah berkat syafaat Bunda Maria "dan menandai awal kebangkitan devosi-devosi kepada Bunda Maria, Ratu Surga dan Bumi, serta peranannya selaku mediatrix (perantara) berbagai kasih karunia Allah".[159] Colloquium Marianum, sebuah kelompok elit, maupun Sodalitas Santa Perawan Maria melandaskan kegiatan-kegiatannya pada pengamalan hidup lurus, jauh dari dosa-dosa utama.

Sebagaimana telah ditetapkan Paus Paulus V pada tahun 1617, pada tahun 1622, Paus Gregorius XV menetapkan bahwa Santa Perawan Maria tidak terbukti dikandung tidak tanpa noda. Ketetapan tersebut mendukung keyakinan bahwa Santa Perawan Maria terlahir tanpa dosa asal karena dilindungi rahmat Allah (atau dikandung tanpa noda).[butuh klarifikasi] Pada tahun 1661, Paus Aleksander VII memaklumkan bahwa jiwa Bunda Maria bebas dari dosa asal. Pada tahun 1708, Paus Klemens XI memerintahkan agar segenap Gereja merayakan pesta Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. perayaan Rosario diperkenalkan pada tahun 1716, dan perayaan Tujuh Duka Maria diperkenalkan pada tahun 1727. Doa Malaikat Tuhan mendapat dukungan besar dari Paus Benediktus XIII pada tahun 1724, dan dari Paus Benediktus XIV pada tahun 1742.[160] Amalan-amalan penghormatan terhadap Bunda Maria yang berkembang di tengah masyarakat menjadi lebih semarak daripada yang sudah-sudah, yakni berbagai ziarah penghormatan Bunda Maria, devosi-devosi Salve Maria, litani-litani baru kepada Bunda Maria, sandiwara-sandiwara tentang Bunda Maria, madah-madah pujian kepada Bunda Maria, dan prosesi-prosesi penghormatan Bunda Maria. Organisasi-organisasi persaudaraan Bunda Maria, yang sebagian besar kini sudah bubar, pernah memiliki berjuta-juta anggota.[161]

Gerakan Pencerahan merupakan tantangan baru bagi Gereja. Berbeda dengan Reformasi Protestan yang hanya mempermasalahkan doktrin-doktrin Kristen tertentu, gerakan Pencerahan mempertanyakan agama Kristen secara meyeluruh. Pada umumnya gerakan Pencerahan menempatkan nalar manusia di atas wahyu ilahi, dan mengecilkan kewenangan-kewenangan agamawi yang berlandaskan wahyu ilahi seperti lembaga kepausan.[162] Di lain pihak, Gereja berusaha membendung Galikanisme dan Konsiliarisme, ideologi-ideologi yang mengancam lembaga kepausan maupun struktur Gereja.[163]

Menjelang paruh akhir abad ke-17, Paus Inosensius XI menginsyafi bahwa serangan bangsa Turki ke Eropa, yang didukung Prancis, merupakan ancaman besar bagi Gereja. Ia membentuk koalisi Polandia-Austria yang berhasil mengalahkan bangsa Turki di Wina pada tahun 1683. Bagi para ahli, Paus Inosensius XI adalah seorang paus yang saleh karena memberantas penyelewengan-penyelewengan dalam Gereja, antara lain praktik simoni, nepotisme, dan pemborosan lembaga kepausan yang membuat ia harus menanggung warisan utang sebesar 50.000.000 keping Scudo. Dengan menghapus sejumlah jabatan kehormatan dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan fiskal baru, Paus Inosensius XI berhasil mengendalikan keuangan Gereja.[164] Paus Inosensius X dan Paus Klemens XI berjuang melawan ideologi Yansenisme dan Galikanisme, yang mendukung Konsiliarisme dan memungkiri keutamaan Sri Paus, dengan menuntut pemberian konsesi istimewa kepada Gereja di Prancis. Keadaan ini melemahkan kemampuan Gereja untuk menanggapi para pemikir Galikanis seperti Denis Diderot, yang menggugat doktrin-doktrin asasi Gereja.[165]

Pada tahun 1685, Raja Prancis penganut Galikanisme, Louis XIV, memaklumkan pembatalan Maklumat Nantes, dan dengan demikian mengakhiri toleransi beragama yang sudah berjalan selama satu abad. Prancis memaksa para teolog Katolik untuk mendukung Konsiliarisme dan memungkiri infalibilitas Sri Paus. Raja Louis XIV mengancam Paus Inosensius XI dengan konsili umum dan aksi militer untuk merebut Negara Gereja.[166] Negara monarki absolut tersebut menggunakan ideologi Galikanisme untuk menangani sendiri urusan pengangkatan hampir semua pejabat penting Gereja dan menguasai sejumlah besar harta benda Gereja.[164][167] Penyerobotan kewenangan Gereja oleh negara semacam ini juga menular ke negara-negera lain. Di Belgia dan Jerman, Galikanisme muncul dalam wujud Febronianisme, yang menolak hak-hak prerogatif Sri Paus dengan pendapat-pendapat yang sama.[168] Kaisar Kaisar Josef II asal Austria (1780–1790) mempraktikkan kebijakan Josefisme dengan meregulasi peri kehidupan Gereja, pengangkatan pejabat Gereja, dan penyitaan besar-besaran harta benda Gereja.[168] Abad ke-18 juga merupakan Abad Pencerahan Katolik, kurun waktu timbulnya gerakan reformasi dalam berbagai aspek.[169]

Usaha misi Katolik berkembang di daerah yang kini menjadi Kawasan Barat Amerika Serikat, tetapi harus bekerjasama dengan pejabat sipil dan militer Kerajaan Spanyol sampai abad ke-19.[170] Junípero Serra, padri Fransiskan yang mengepalai usaha misi tersebut, mendirikan sejumlah pusat misi dan presidio di Kalifornia yang menjadi lembaga-lembaga ekonomi, politik, dan keagamaan yang penting.[171] Pusat-pusat misi tersebut memperkenalkan budi daya gandum, ternak lembu, serta tatanan politik dan keagamaan yang baru baru kepada suku-suku Indian di Kalifornia. Jalur-jalur tempuh yang melewati kawasan pesisir maupun daerah pedalaman dirintis dari Kota Meksiko dan pusat-pusat misi terdepan di Texas dan Meksiko Baru sehingga menghasilkan pembentukan 13 pusat misi besar di Kalifornia pada tahun 1781. Para pendatang dari Eropa membawa masuk bibit-bibit penyakit baru yang menewaskan sepertiga populasi pribumi.[172] Meksiko menutup pusat-pusat misi pada era 1820-an dan menjual tanah-tanah misi. Pada abad ke-19, sesudah sebagian besar daerah koloni Spanyol dan Portugis dipecah, barulah Vatikan mampu mengambil alih penanganan kegiatan-kegiatan misi Katolik melalui organisasi Propaganda Fide-nya.[173]

Pada kurun waktu ini, Gereja harus menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah Portugis dan Spanyol di daerah-daerah koloni mereka. Di Amerika Selatan, para Yesuit melindungi masyarakat pribumi dari perbudakan dengan jalan membangun permukiman-permukiman semimerdeka yang disebut reduksi (tempat orang-orang pribumi justru disiksa, dipaksa memeluk agama Katolik, mengalami trauma, dan diperbudak para Yesuit). Paus Gregorius XVI menantang kedaulatan Spanyol dan Portugis dengan mengangkat orang-orangnya pilihannya sendiri menjadi uskup di daerah-daerah koloni, dengan mengutuk perbudakan maupun praktik jual beli budak dalam bula In supremo apostolatus tahun 1839, dan dengan menyetujui penahbisan rohaniwan pribumi sekalipun pemerintah masih berpandangan rasis.[174]

Komunitas Kristen India turun-temurun percaya bahwa mereka adalah kelanjutan dari paguyuban umat Kristen yang dibentuk Rasul Tomas di Kerala. Mereka disebut umat Kristen Santo Tomas. Komunitas tersebut sangat kecil. Jumlah umat Kristen di India baru bertambah sesudah Fransiskus Xaverius (1502–1552), seorang padri Yesuit, mulai berkiprah di India. Teladannya diikuti Roberto de Nobili (1577–1656), padri Yesuit asal Toskana yang diutus sebagai misionaris ke kawasan selatan India. Ia memelopori inkulturasi, dengan mengadopsi berbagai adat-istiadat kaum Brahmana yang menurutnya tidak bertentangan dengan agama Kristen. Ia hidup selayaknya seorang Brahmana, mempelajari bahasa Sanskerta, dan menghadirkan agama Kristen sebagai bagian dari khazanah kepercayaan bangsa India, bukan sebagai agama yang identik dengan kebudayaan Portugis maupun kaum penjajah. Ia memperbolehkan umat Kristen melaksanakan amalan-amalan warisan leluhur mereka yang menurutnya tidak bertentangan langsung dengan ajaran-ajaran Kristen. Pada tahun 1640, di Madurai saja sudah ada 40.000 pemeluk agama Kristen. Pada tahun 1632, Paus Gregorius XV mengizinkan pendekatan semacam ini, tetapi sentimen-sentimen anti-Yesuit yang kuat di Portugal, Prancis, dan bahkan di Roma membuat pendekatan tersebut dilarang, dan mengakhiri keberhasilan usaha-usaha misi Katolik di India.[175] Pada tanggal 12 September 1744, Paus Benediktus XIV melarang amalan-amalan yang disebut ritus-ritus Malabar. Akibatnya, umat Kristen dari masyarakat berkasta tinggi, yang ingin melestarikan budaya warisan leluhur mereka, meninggalkan Gereja Katolik.[176][177]

Gerakan antirohaniwan yang merajalela ketika berlangsungnya Revolusi Prancis mengakibatkan seluruh gereja berikut harta bendanya dinasionalisasi, bahkan ada usaha-usaha membentuk gereja yang dikelola negara. Sejumlah besar padri menolak bersumpah untuk taat kepada Majelis Nasional, sehingga Gereja dinyatakan sebagai lembaga terlarang dan diganti dengan agama yang menyembah "Nalar", meskipun agama baru ini tidak kunjung memasyarakat. Pada kurun waktu ini, semua biara dihancurkan, 30.000 padri diasingkan, dan ratusan padri lainnya dibunuh.[178][179] Karena Paus Pius VI memihak kubu penentang revolusi dalam Perang Koalisi Pertama, Napoleon Bonaparte menginvasi Italia. Sri Paus yang sudah berumur 82 tahun itu digiring sebagai tawanan ke Prancis pada bulan Januari 1798, dan wafat tak lama kemudian. Untuk mengambil hati rakyat, Napoleon mengizinkan Gereja Katolik untuk kembali berkiprah di Prancis dengan menandatangani Konkordat 1801. Tanah-tanah milik Gereja tidak pernah dikembalikan, tetapi para padri dan agamawan lainnya digaji pemerintah, yang mendanai perawatan harta benda Gereja dengan pendapatan pajak. Umat Katolik diizinkan membuka kembali sejumlah sekolahnya. Berakhirnya perang-perang Napoleon yang ditandai penyelenggaraan Kongres Wina, menjadi era kebangkitan Katolik dan kembalinya Negara Gereja menjadi wilayah kedaulatan Sri Paus. Serikat Yesus juga dipulihkan.[180][181]

Prancis tetap sebuah negara Katolik. Hasil sensus tahun 1872 menunjukkan bahwa dari 36 juta warga negara Prancis, 35,4 juta jiwa memeluk agama Kristen Katolik, 600.000 jiwa memeluk agama Kristen Protestan, 50.000 memeluk agama Yahudi, dan 80.000 tercatat sebagai orang-orang berpikiran bebas. Revolusi Prancis gagal membinasakan Gereja Katolik, dan statusnya dipulihkan Konkordat 1801 yang ditandatangani Napoleon. Kembalinya wangsa Bourbon ke tampuk pemerintahan pada tahun 1814 memunculkan kembali banyak bangsawan dan tuan tanah kaya yang mendukung Gereja, yang mereka pandang sebagai kubu pertahanan konservatisme dan monarkisme. Meskipun demikian, biara-biara berikut tanah-tanahnya yang luas maupun kekuasaan politiknya yang besar sudah binasa. Sebagian besar tanah-tanah biara sudah dijual kepada para wirausahawan dari kota yang tidak memiliki ikatan sejarah dengan tanah maupun kaum taninya. Hanya sejumlah kecil padri yang ditahbiskan pada kurun waktu 1790–1814, sementara sejumlah besar padri meninggalkan Gereja. Akibatnya, jumlah rohaniwan paroki menyusut dari 60.000 orang pada tahun 1790 menjadi 25.000 orang saja pada tahun 1815, dan kebanyakan sudah uzur. Wilayah Prancis, terutama daerah sekitar kota Paris, hanya dilayani sejumlah kecil padri. Meskipun demikian, beberapa daerah masih teguh berpegang pada iman Katolik, di bawah pimpinan bangsawan-bangsawan dan keluarga-keluarga tua setempat.[182] Pemulihan berlangsung lamban, bahkan sangat lamban di kota-kota besar dan kawasan-kawasan industri. Melalui karya misi yang sistematis serta pengutamaan liturgi dan devosi-devosi kepada Santa Perawan Maria, ditambah dukungan dari Kaisar Napoleon III, kondisi Gereja Katolik di Prancis akhirnya membaik. Pada tahun 1870, ada 56.500 orang imam, yang merupakan tenaga-tenaga baru yang lebih muda dan lebih dinamis di desa-desa dan kota-kota kecil, dengan jaringan sekolah, lembaga amal, dan organisasi umat awam yang kuat.[183] Umat Katolik konservatif menguasai pemerintahan negara pada kurun waktu 1820–1830, tetapi lebih sering memainkan peran-peran politik sekunder atau harus melawan serangan-serangan dari golongan republikan, golongan liberal, golongan sosialis, dan golongan sekuler.[184][185]

Pada zaman Republik Ketiga, timbul sengketa seputar status Gereja Katolik. Para rohaniwan dan uskup-uskup Prancis dipandang sebagai sekutu golongan monarkis, mengingat ada banyak rohaniwan yang berasal dari kalangan ningrat. Golongan republikan adalah golongan berbasis kalangan menengah Prancis yang antirohaniwan. Di mata mereka, persekutuan Gereja dengan golongan monarkis adalah ancaman politik terhadap ideologi republikanisme sekaligus bahaya yang mengintai semangat kemajuan modern. Golongan republikan merasa tidak senang terhadap Gereja karena afiliasi politik dan afiliasi kelas sosialnya. Bagi mereka, Gereja mewakili tradisi-tradisi, takhayul-takhayul, dan ideologi monarkisme yang sudah ketinggalan zaman. Golongan republikan didukung umat Protestan dan umat Yahudi. Berbagai aturan hukum diundangkan demi melemahkan Gereja Katolik. Pada tahun 1879, para padri dikeluarkan dari panitia-panitia pengelola rumah sakit dan badan-badan pengurus lembaga amal. Pada tahun 1880, dilancarkan upaya-upaya baru untuk menyingkirkan kongregasi-kongregasi religius. Dari tahun 1880 sampai 1890, tenaga perawat perempuan dari kalangan awam dijadikan pengganti para biarawati di banyak rumah sakit. Konkordat 1801 masih tetap berlaku, tetapi pada tahub 1881, pemerintah menghentikan pembayaran gaji kepada padri-padri yang tidak disenanginya.[186]

Undang-undang sekolah tahun 1882 yang diajukan Jules Ferry, perdana menteri dari golongan republikan, mengatur sistem nasional sekolah-sekolah negeri yang mengajarkan moralitas puritan yang tegas tetapi tidak mengajarkan agama.[187] Untuk sementara waktu, sekolah-sekolah swasta katolik ditoleransi. Nikah sipil diwajibkan, perceraian diizinkan, dan pastor-pastor tentara dibebastugaskan dari angkatan bersenjata.[188]

Ketika terpilih pada tahun 1878, Paus Leo XIII berusaha menenangkan kisruh hubungan Gereja-negara di Prancis. Pada tahun 1884, ia mengimbau uskup-uskup Prancis untuk tidak menunjukkan sikap bermusuhan kepada negara. Pada tahun 1892, ia menerbitkan sebuah ensiklik yang berisi anjuran kepada umat Katolik Prancis untuk mendukung pemerintah Republik Prancis dan membela Gereja dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan politik golongan republikan. Usaha perbaikan hubungan ini gagal. Rasa saling curiga kedua belah pihak sudah telanjur mendarah daging, bahkan kian tajam akibat skandal Dreyfus. Sebagian besar umat Katolik tergolong dalam kubu anti-Dreyfus. Serikat Asumsionis mempublikasikan artikel-artikel anti-Semit dan antirepublikan dalam jurnal mereka, La Croix. Tindakan tersebut membuat para politikus republikan kebakaran jenggot dan bernafsu membalas dendam. Merekas sering kali bekerja bahu membahu dengan loji-loji Tarekat Mason Bebas. Pemerintah Prancis pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Pierre Waldeck-Rousseau (1899–1902) dan Perdana Menteri Émile Combes (1902–1905) bertikai dengan Vatikan dalam soal pengangkatan uskup-uskup. Para pastor tentara dikeluarkan dari rumah-rumah sakit angkatan laut dan rumah-rumah sakit militer (1903–1904), dan tentara diperintahkan untuk tidak berhubungan dengan klub-klub Katolik (1904). Ketika menjadi perdana menteri pada tahun 1902, Émile Combes bertekad mengalahkan agama Katolik dengan telak. Ia menyegel semua sekolah paroki di Prancis, kemudian mengusahakan agar parlemen menolak keabsahan semua tarekat religius. Kelima puluh empat tarekat religius yang ada di Prancis dengan demikian dinyatakan bubar, dan sekitar 20.000 anggota tarekat religius langsung angkat kaki dari Prancis, sebagian besar pindah ke Spanyol.[189] Pada tahun 1905, Konkordat 1801 dinyatakan batal, sehingga Gereja dan negara akhirnya terpisahkan. Seluruh harta benda Gereja disita. Penyelenggaraan ibadat berjemaah diserahkan kepada serikat-serikat awam Katolik yang mengendalikan akses ke gereja-gereja. Pada praktinya, perayaan Misa dan ibadat-ibadat lain terus berjalan. Gereja Katolik di Prancis menderita kerugian besar dan kehilangan setengah imam-imamnya. Meskipun demikian, Gereja memetik keuntungan jangka panjang, yakni kebebasan mengatur diri sendiri, karena negara tidak lagi campur tangan dalam urusan pemilihan uskup dan ideologi Galikanisme pun akhirnya mati.[190]

Menjelang akhir abad ke-19, para misionaris Katolik, yang datang ke Afrika bersama pemerintah daerah-daerah koloni, mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, biara-biara, dan gereja-gereja.[191]

Sebelum penyelenggaraan Konsili Vatikan I, pada tahun 1854, Paus Pius IX mencanangkan dogma Dikandung Tanpa Noda dengan dukungan penuh mayoritas uskup Gereja Katolik yang ia mintai sumbang saran dari tahun 1851 sampai tahun 1853.[192] Delapan tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1846, Sri Paus sudah lebih dahulu mempermaklumkan Santa Perawan Maria Yang Dikandung Tanpa Noda sebagai pelindung Amerika Serikat sebagaimana yang diharapkan uskup-uskup di negara itu.[193]

Dalam sidang Konsili Vatikan I, sekitar 108 orang bapa konsili meminta agar frasa "perawan tak bercela" ditambahkan ke dalam doa Salam Maria.[194] Beberapa bapa konsili meminta agar dogma Dikandung Tanpa Noda dimasukkan ke dalam syahadat, tetapi ditentang Paus Pius IX.[195] Banyak orang Katolik di Prancis yang berharap konsili oikumene ini menjadikan infalibilitas Sri Paus dan pengangkatan Bunda Maria ke surga dijadikan dogma.[196] Selama konsili berlangsung, muncul sembilan petisi terkait mariologi yang mendukung dogmatisasi keyakinan tentang pengangkatan Bunda Maria ke surga, tetapi ditentang keras sejumlah bapa konsili, teristimewa bapa-bapa konsili dari Jerman. Pada tahun 1870, Konsili Vatikan I mengukuhkan doktrin infalibilitas Sri Paus bilamana dijalankan menurut ketentuan-ketentuan khusus yang telah ditetapkan.[197][198] Kontroversi seputar infalibilitas Sri Paus maupun beberapa isu lain mengakibatkan segolongan kecil umat Katolik memisahkan diri dan membentuk Gereja Katolik Lama.[199]

Revolusi Industri memunculkan berbagai keprihatinan terkait memburuknya kondisi kerja maupun kondisi hidup para buruh di perkotaan. Dipengaruhi Uskup Jerman yang bernama Wilhelm Emmanuel Freiherr von Ketteler, Paus Leo XIII menerbitkan ensiklik Rerum novarum pada 1891. Ensiklik ini berisi penjabaran ajaran sosial Katolik yang menolak sosialisme tetapi menganjurkan regulasi syarat-syarat kerja, serta mendesak penetapan upah layak dan pengakuan hak buruh untuk membentuk serikat buruh.[200]

Quadragesimo anno dikeluarkan Paus Pius XI pada 15 Mei 1931, 40 tahun sesudah terbitnya Rerum novarum. Berbeda dari Paus Leo XIII yang lebih banyak membahas mengenai kondisi kaum buruh, Paus Pius XI memusatkan perhatiannya pada implikasi-implikasi etis dari tata tertib sosial dan ekonomi. Ia mengimbau agar dilakukan rekonstruksi tata tertib sosial berdasarkan prinsip solidaritas dan subsideritas.[201] Ia mengungkap pula mengenai bahasa-bahaya besar yang mengancam kemerdekaan dan keluhuran martabat manusia yang muncul dari kapitalisme tanpa batas dan komunisme totaliter.

Ajaran-ajaran sosial dari Paus Pius XII mengulangi ajaran-ajaran ini, dan menjabarkannya secara lebih terperinci bukan hanya bagi kaum buruh dan kaum pemilik modal, melainkan juga bagi profesi-profesi lain seperti politikus, pendidik, ibu rumah tangga, petani, ahli pembukuan, organisasi internasional, dan segala aspek kehidupan termasuk militer. Ia bahkan melangkah lebih jauh lagi daripada Paus Pius XI dengan merumuskan pula ajaran-ajaran sosial di bidang kedokteran, psikologi, olah raga, televisi, ilmu pengetahuan, hukum, dan pendidikan. Nyaris tidak ada isu sosial yang tidak dibahas dan dihubungkan dengan iman Kristen oleh Paus Pius XII.[202] Ia dijuluki "Paus Teknologi" karena kesediaan dan kesanggupannya untuk menguji dampak-dampak sosial dari kemajuan teknologi. Pokok perhatian utamanya adalah keberlangsungan hak-hak dan kemuliaan martabat tiap-tiap manusia. Dengan bermulanya Abad Antariksa menjelang akhir masa jabatannya, Paus Pius XII menelaah implikasi-implikasi sosial dari penjelajahan antariksa dan satelit-satelit terhadap sarana pemersatu umat manusia dengan mengimbau masyarakat untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang baru dalam terang ajaran-ajaran Sri Paus sebelumnya mengenai subsidiaritas.[203]

Kaum wanita Katolik telah berperan penting dalam penyediaan pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagai wujud pengamalan ajaran sosial Katolik. Tarekat-tarekat kuno seperti Karmelit telah melakukan karya sosial selama berabad-abad.[204] Pada abad ke-19, marak bermunculan tarekat-tarekat religius baru bagi kaum perempuan yang berkiprah di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan.Dari antara tarekat-tarekat ini, Tarekat Suster-Suster Don Bosco, Tarekat Suster-Suster Klaretin, dan Tarekat Misionaris Maria Fransiskan adalah tarekat-tarekat religius Katolik untuk kaum perempuan yang paling besar.[205]

Tarekat Suster-Suster Belas Kasih dibentuk Catherine McAuley di Irlandia pada tahun 1831. Anggota-anggotanya tarekat ini di kemudian hari mendirikan rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia.[206] Tarekat Saudari-Saudari Kecil Kaum Papa didirikan pada pertengahan abad ke-19 oleh Santa Jeanne Jugan di dekat Rennes, Prancis, untuk merawat para lansia yang menggelandang di jalanan kota-kota kecil maupun besar di Prancis.[207][208] Di Amerika Serikat, Santa Katharine Drexel mendirikan Universitas Xavier Louisiana untuk membantu warga pribumi dan keturunan Afrika.[209]

Para paus telah berulang kali menonjolkan kaitan erat antara Perawan Maria sebagai Bunda Allah dan penerimaan penuh akan Yesus Kristus sebagai Putra Allah.[210][211] Semenjak abad ke-19, para paus mulai lebih sering memanfaatkan ensiklik. Paus Leo XIII, Sri Paus Rosario, menerbitkan sebelas ensiklik terkait Bunda Maria. Penghormatan kepada Santa Perawan Maria dengan dua disahkan paus-paus terkemudian dengan dua dogma. Paus Pius IX mengesahkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda 1854, dan Paus Pius XII mengesahkan dogma Maria Diangkat ke Surga pada tahun 1950. Paus Pius XII juga menetapkan hari raya baru untuk memuliakan Bunda Maria sebagai Ratu Surga dan memperkenalkan Tahun Maria untuk pertama kalinya pada tahun 1954. Tahun Maria yang kedua dimaklumkan Paus Yohanes Paulus II. Paus Pius IX, Paus Pius XI, dan Paus Pius XII memperlancar pengakuan terhadap kesahihan penampakan-penampakan Bunda Maria semisal yang terjadi di Lourdes dan Fátima. Para paus di kemudian hari, mulai dari Paus Yohanes XXIII sampai Paus Benediktus XVI, menganjurkan peziarahan ke tempat-tempat ziarah Bunda Maria (Paus Benediktus XVI pada tahun 2007 dan 2008). Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya penghormatan kepada Bunda Maria dalam dokumen Lumen gentium. Di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mempermaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja.

Pada abad ke-20, pemerintahan di sejumlah negara dikuasai pihak-pihak yang berhaluan politik radikal dan antiklerikal. Undang-Undang Calles tahun 1926, yang memisahkan negara dari Gereja di Meksiko, bermuara pada Perang Cristero[212] yang mengakibatkan lebih dari 3.000 orang imam diasingkan atau dibunuh,[213] gereja dicemarkan, ibadat diolok-olok, biarawati diperkosa, dan imam-imam ditembak mati bila tertangkap.[212] Di Uni Soviet, Gereja dan umat Katolik ditindas seusai Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, sampai memasuki era 1930-an.[214] Selain pembunuhan rohaniwan, biarawan, dan umat awam, penyitaan barang-barang perlengkapan ibadat, dan penutupan gedung-gedung gereja juga merupakan hal yang umum terjadi.[215] Pada Perang Saudara Spanyol, yang berlangsung dari tahun 1936 sampai tahun 1939, hierarki Katolik mendukung pasukan pemberontak Nasionalis Spanyol, yang dipimpin Francisco Franco, melawan pemerintah koalisi Front Kerakyatan,[216] dengan beralasan bahwa kaum Republikan telah sengaja melakukan tindak kekerasan terhadap Gereja.[217] Gereja Katolik juga menjadi salah satu unsur aktif di gelanggang politik Spanyol yang terkotak-kotak menjadi beberapa kubu pada tahun-tahun menjelang pecahnya perang saudara.[218] Paus Pius XI menjuluki ketiga negara tersebut dengan sebutan "segitiga mengerikan" dan mengistilahkan sikap diam Eropa dan Amerika Serikat sebagai "konspirasi bungkam".

Paus Pius XI berniat mengakhiri sengketa lama antara lembaga kepausan dan pemerintah Italia, serta mengusahakan agara kemerdekaan dan kedaulatan Takhta Suci kembali diakui. Sebagian besar wilayah Negara Gereja telah direbut pada tahun 1860 oleh angkatan bersenjata Raja Italia, Victor Emmanuel II (1861–1878), yang bercita-cita mempersatukan seluruh Italia. Kota Roma sendiri direbut paksa pada tahun 1870, dan Sri Paus menjadi "tahanan di Vatican." Kebijakan-kebijakan pemerintah Italia selalu bersifat antirohaniwan sampai dengan Perang Dunia I, manakala Takhta Suci berhasil menyepakati sejumlah kompromi dengan pemerintah Italia.[219]

Guna mengukuhkan rezim Fasis diktatorialnya sendiri, Benito Mussolini juga mengupayakan tercapainya kesepakatan dengan Takhta Suci. Kesepakatan tercapai pada tahun 1929 dengan penandatanganan Perjanjian Lateran, yang menguntungkan kedua belah pihak.[220] Berdasarkan syarat-syarat perjanjian pertama, Kota Vatikan diberi kedaulatan sebagai sebuah negara merdeka sebagai ganti membatalkan klaimnya atas daerah-daerah bekas wilayah Negara Gereja. Dengan demikian Paus Pius XI menjadi kepala dari sebuah negara mini dengan wilayah, angkatan bersenjata, stasiun radio, dan perwakilan diplomatik sendiri. Konkordat tahun 1929 membuat agama Kristen Katolik menjadi satu-satunya agama di Italia (kendati agama-agama lain ditoleransi), pemerintah Italia membayar gaji imam-imam dan uskup-uskup, mengakui pernikahan yang dilangsungkan di gereja (sebelumnya, kedua mempelai harus menjalani upacara pernikahan sipil), serta menghadirkan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sebagai gantinya, uskup-uskup bersumpah setia pada negara Italia, yang memiliki hak veto dalam pemilihan uskup.[221] Gereja tidak secara resmi diwajibkan mendukung rezim Fasis; kedua belah pihak tetap kukuh berseberangan pendirian tetapi permusuhan yang meluap-luap sudah berakhir. Gereja secara khusus mendukung kebijakan-kebijakan luar negeri, semisal dukungan terhadap kubu anti-Komunis dalam Perang Saudara Spanyol, dan dukungan terhadap penaklukan Etiopia. Masih ada silang pendapat seputar jaringan muda-mudi Aksi Katolik, yang ingin digabungkan Mussolini dengan perkumpulan muda-mudi Fascis bentukannya. Satu-satunya kompromi yang disepakati adalah pemerintahan Fascis diperbolehkan untuk mensponsori tim-tim olahraga.[222]

Italia membayar ganti rugi kepada Vatikan 1.750 juta lira (sekitar $100 juta) atas penyitaan properti gereja semenjak tahun 1860. Paus Pius XI menginvestasikan dana ganti rugi ini di bursa saham dan lahan yasan. Tugas mengelola investasi ini dipercayakan Sri Paus kepada Bernardino Nogara, tokoh awam yang dengan cerdik menginvestasikannya dalam bentuk saham, emas, dan bursa-bursa berjangka, sehingga kondisi keuangan Gereja Katolik mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagian besar laba investasi digelontorkan untuk mendanai usaha pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah di Vatikan yang sangat tinggi. Ongkos pemeliharaan yang sangat besar ini sebelumnya ditutupi dengan dana yang dikumpulkan Negara Gereja sampai dengan tahun 1870.

Hubungan Vatikan dengan pemerintahan Mussolini memburuk secara drastis selepas tahun 1930, manakala ambisi totaliter Mussolini mulai bersinggungan dengan otonomi Gereja. Sebagai contoh, kaum fasis berusaha menjadikan perkumpulan-perkumpulan muda-muda Gereja sebagai bagiannya. Untuk menanggapinya, Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Non abbiamo bisogno (Kami Tidak Butuh) pada tahun 1931. Ensiklik ini mengecam persekusi rezim fasis terhadap Gereja di Italia, dan mengutuk "pemberhalaan negara."[223]

Vatikan mendukung kaum Sosialis Kristen di Austria, negara berpenduduk mayoritas Katolik namun memiliki unsur sekuler yang kuat. Paus Pius XI sangat mendukung rezim Engelbert Dollfuss (1932–1934), yang bercita-cita membentuk ulang masyarakat Austria berdasarkan ensiklik-ensiklik Sri Paus. Engelbert Dollfuss berusaha memberantas anasir-anasir antirohaniwan dan kaum sosialis, namun tewas dibunuh kaum Nazi Austria pada tahun 1934. Penggantinya, Kurt von Schuschnigg (1934–1938), juga pro-Katolik dan didukung Vatikan. Jerman menganeksasi Austria pada tahun 1938 dan memberlakukan kebijakan-kebijakannya sendiri.[224]

Paus Pius XI bersedia untuk merundingkan butir-butir kesepakatan dengan negara mana saja yang bersedia melakukannya, karena ia berpikir bahwa perjanjian tertulis adalah cara terbaik untuk melindungi hak-hak Gereja dari pemerintah yang kian lama kian cenderung campur tangan dalam urusan-urusannya. Dua belas konkordat ditandatangani pada masa kepausannya dengan berbagai bentuk pemerintahan, termasuk dengan pemerintah sejumlah negara Jerman. Ketika Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada tanggal 30 Januari 1933 dan meminta sebuah konkordat, Paus Pius XI pun menyambut baik permintaannya itu. Konkordat tahun 1933 memuat jaminan-jaminan kebebasan bagi Gereja di Jerman Nazi, dan kemerdekaan bagi organisasi-organisasi Katolik, perkumpulan-perkumpulan muda-mudi Katolik, dan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah.[225]

Ideologi Nazi dipelopori Heinrich Himmler dan SS. Dalam usahanya untuk sepenuhnya mengendalikan raga dan pikiran rakyat Jerman, SS mengembangkan suatu agenda antiagama.[226] Tak seorang pun rohaniwan Katolik maupun Protestan yang diizinkan memimpin ibadat tentara di kesatuan-kesatuan SS (namun diperbolehkan memimpin ibadat tentara di kesatuan-kesatuan angkatan darat biasa). Himmler membentuk sebuah kesatuan khusus untuk mengidentifikasi dan melenyapkan pengaruh-pengaruh Katolik. SS memutuskan bahwa Gereja Katolik Jerman adalah ancaman serius bagi hegemoninya, dan karena Gereja Katolik Jerman terlalu kuat untuk dibubarkan, maka pengaruh-pengaruhnya harus dikikis satu per satu, misalnya dengan menutup perkumpulan-perkumpulan muda-mudi Katolik dan usaha-usaha penerbitan Katolik.[227]

Setelah Konkordat berulang kali dilanggar, Paus Pius XI akhirnya mengeluarkan ensiklik Mit brennender Sorge tahun 1937 yang berisi pengutukan terhadap penindasan Nazi atas Gereja sekaligus terhadap ideologi neopaganisme dan superioritas ras yang didengung-dengungkan Nazi.[228]

Setelah Perang Dunia II meletus pada bulan September 1939, Gereja mengutuk aksi invasi atas Polandia dan aksi-aksi invasi sesudahnya yang dilakukan Nazi pada 1940.[229] Semasa Holocaust, Paus Pius XII memberi arahan kepada hierarki Gereja untuk membantu melindungi umat Yahudi dan kaum Gipsi dari Nazi.[230] Meskipun Paus Pius XII dianggap berjasa menyelamatkan ratusan ribu nyawa orang Yahudi,[231] Gereja tetap saja difitnah telah mendukung paham antisemit[232] Albert Einstein mengemukakan pendapatnya mengenai peran Gereja Katolik semasa Holocaust sebagai berikut: "Selaku seorang pecinta kebebasan, ketika revolusi muncul di Jerman, saya berharap universitas-universitas akan membela kebebasan, sebab saya tahu bahwa universitas-universitas senantiasa membangga-banggakan darma baktinya dalam menegakkan kebenaran; namun, tidak, universitas-universitas dengan cepat dibungkam. Selanjutnya saya berharap para editor besar persuratkabaran yang dalam editorial-editorial di mereka pada hari-hari yang lalu begitu berapi-api menggembar-gemborkan kecintaan mereka akan kebebasan; namun sama seperti universitas-universitas, mereka pun dibungkam hanya dalam hitungan minggu... Hanya Gereja saja yang teguh berdiri menentang kampanye Hitler untuk menindas kebenaran. Dulu saya tidak menyimpan minat khusus terhadap Gereja, namun sekarang saya merasa sangat mengasihi dan mengaguminya karena Gereja sajalah yang sudah berani dan gigih membela kebenaran intelektual dan kebebasan moral. Oleh karena itu dengan terpaksa saya harus mengaku bahwa apa yang dulu saya pandang hina kini saya puji secara terang-terangan." Kutipan pernyataan ini dimuat dalam majalah Time edisi 23 Desember 1940 pada halaman 38.[233] Komentator-komentator lain yang berat sebelah telah mengemukakan tuduhan bahwa Paus Pius XII tidak cukup gigih berusaha menghentikan kekejaman-kekejaman Nazi.[234] Perdebatan seputar validitas dari kritik-kritik ini masih berlanjut sampai hari ini.[231]

Gereja Katolik mengalami suatu proses pembaharuan yang komprehensif selepas Konsili Vatikan II (1962–1965).[235] Meskipun diniatkan sinambung dengan Konsili Vatikan I, konsili yang dipimpin Paus Yohanes XXIII ini malah berkembang menjadi semacam mesin perubahan.[235][236] Para peserta konsili diserahi tugas untuk membuat ajaran-ajaran historis Gereja menjadi jelas bagi dunia modern, dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai berbagai topik, termasuk mengenai fitrah Gereja, misi yang diemban umat awam, dan kebebasan beragama.[235] Para peserta konsili menyetujui revisi atas liturgi dan membenarkan penggunaan bahasa-bahasa yang dipertuturkan umat di samping bahasa Latin dalam pelaksanaan ritus-ritus liturgi Latin selama berlangsungnya perayaan Misa dan ibadat-ibadat sakramen.[237] Upaya-upaya Gereja untuk meningkatkan persatuan umat Kristen dijadikan prioritas.[238] Selain mencari landasan bersama dalam isu-isu tertentu dengan gereja-gereja Protestan, Gereja Katolik juga telah membahas kemungkinan-kemungkinan untuk bersatu dengan Gereja Ortodoks Timur.[239]

Perubahan-perubahan pada ritus-ritus dan upacara-upacara lama selepas Konsili Vatikan II menuai berbagai tanggapan. Sebagian kalangan berhenti pergi ke gereja, sementara yang lain berusaha melestarikan liturgi lama dengan bantuan imam-imam yang bersimpati.[240] Kalangan yang memberi tanggapan-tanggapan semacam ini menjadi cikal bakal dari paguyuban-paguyuban Katolik Tradisionalis, yang percaya bahwa pembaharuan-pembaharuan Vatikan II sudah kebablasan. Umat Katolik liberal di lain pihak justru merasa bahwa pembaharuan-pembaharuan Vatikan II tidak cukup pesat. Pandangan-pandangan liberal dari para teolog, seperti Hans Küng dan Charles Curran, berbuntut pada pencabutan wewenang mereka untuk mengajar selaku pemeluk agama Kristen Katolik oleh Gereja.[241] Menurut Profesor Thomas Bokenkotter, sebagian besar umat Katolik "menerima perubahan-perubahan itu dengan lebih atau kurang santun."[240] Pada 2007, Paus Benediktus XVI melonggarkan perizinan untuk merayakan Misa cara lama, sebagai salah satu opsi yang tersedia untuk merayakan misa, bilamana diminta umat beriman.[242]

Sebuah Codex Iuris Canonici baru, yang disusun atas imbauan Paus Yohanes XXIII, diundangkan Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983. Kitab Hukum Kanonik 1983 juga mengatur berbagai pembaharuan serta penggantian hukum dan tata tertib Gereja Latin. Kitab ini menggantikan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang diundangkan Paus Benediktus XV.

Tumbuhnya kesadaran dan politisasi sosial dalam Gereja Katolik di Amerika Latin pada era 1960-an melahirkan teologi pembebasan. Seorang imam asal Peru, Gustavo Gutiérrez, adalah penganjur utama teologi ini.[243] Pada 1979, Konferensi Waligereja Meksiko secara resmi memaklumkan bahwa Gereja Katolik di Amerika Latin "berpihak pada kaum papa".[244] Uskup Agung Óscar Romero, salah seorang pendukung gerakan ini, gugur pada 1980 sebagai martir mutakhir yang paling terkenal dari Amerika Latin, setelah ditembak sewaktu merayakan Misa oleh gerombolan bersenjata yang terkait dengan pemerintah.[245] Baik Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI (Kardinal Ratzinger kala itu) mengecam gerakan ini.[246] Teolog Brazil, Leonardo Boff, sampai dua kali diperintahkan untuk berhenti menerbitkan karya tulis dan mengajar.[247] Paus Yohanes Paulus II dikecam karena mengambil tindakan yang sangat tegas terhadap para penganjur gerakan ini, namun ia bersikeras bahwa Gereja, dalam berbagai usahanya untuk membela kaum papa, tidak dibenarkan menggunakan kekerasan maupun politik kepartaian.[243] Gerakan ini masih hidup sampai sekarang di Amerika Latin, meskipun Gereja kini menghadapi tantangan kebangunan rohani Pentakosta di sebagian besar dari kawasan itu.[248]

Revolusi seks pada era 1960-an membangkitkan isu-isu yang menantang bagi Gereja Katolik. Ensiklik Paus Paulus VI yang terbit pada 1968, Humanae Vitae, menegaskan kembali pandangan tradisional Gereja Katolik tentang pernikahan dan hubungan-hubungan dalam pernikahan, serta meneguhkan penentangan abadi terhadap pengendalian kelahiran buatan manusia. Selain itu, ensiklik ini juga kembali menegaskan kesucian hidup manusia, mulai dari dalam kandungan sampai wafat secara wajar, serta mengutuk aborsi dan eutanasia sebagai dosa-dosa berat yang setara dengan pembunuhan.[249][250]

Adanya usaha-usaha menggiring Gereja untuk mempertimbangkan pentahbisan kaum perempuan mendorong Paus Yohanes Paulus II untuk mengeluarkan dua dokumen yang menjelaskan ajaran Gereja terkait gagasan tersebut. Mulieris Dignitatem dikeluarkan pada 1988 untuk menjelaskan peran yang sama penting dan bersifat melengkapi dari kaum perempuan di dalam karya Gereja.[251][252] Selanjutnya pada 1994, terbit Ordinatio Sacerdotalis yang menjelaskan bahwa Gereja hanya menahbiskan laki-laki demi meneladani Yesus, yang hanya memilih laki-laki saja untuk melaksanakan tugas khusus ini.[253][254][255]

Pada bulan Juni 2004, Batrik Oikumene, Bartolomeus I, berkunjung ke Roma pada Hari Santo Petrus dan Santo Paulus (29 Juni) untuk sekali lagi bertemu secara pribadi dengan Paus Yohanes Paulus II, untuk melakukan pembicaraan dengan Dewan Kepausan Bagi Kemajuan Persatuan Umat Kristen, dan untuk menghadiri upacara perayaan hari besar itu di Basilika Santo Petrus.

Keikutsertaan Batrik Oikumene dalam liturgi Ekaristi yang dipimpin Sri Paus mengikuti program kunjungan Batrik Oikumene sebelumnya yang dilakukan Batrik Dimitrios pada 1987 dan Batrik Bartolomeus I sendiri, yakni program yang terdiri atas keikutsertaan penuh dalam Liturgi Sabda, pendarasan Syahadat Nikea-Konstantinopel dalam bahasa Yunani secara bersama-sama oleh Sri Paus dan Batrik Oikumene, dan diakhiri berkat penutup yang diberikan Sri Paus bersama-sama Batrik Oikumene dari depan altar Confessio.[256] Batrik Oikumene tidak ikut serta secara penuh dalam Liturgi Ekaristi yang mencakup konsekrasi dan pembagian komuni.[257][258]

Sesuai dengan praktik Gereja Katolik yang menyertakan klausa filioque bilamana mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Latin,[259] tetapi tidak menyertakannya bilamana mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Yunani,[260] Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI telah mendaraskan Syahadat Nikea bersama-sama dengan Batrik Dimitrios I dan Batrik Bartholomeus I dalam bahasa Yunani tanpa menyertakan klausa filioque.[261][262] Tindakan kedua batrik ini, yakni mendaraskan syahadat bersama-sama dengan Sri Paus, mendapat kecaman tajam dari sebagian pihak di kalangan Kristen Ortodoks Timur, misalnya Metropolit Kalavryta di Yunani, pada bulan November 2008[263]

Pernyataan Ravenna pada 2007 menegaskan kembali keyakinan-keyakinan ini, dan mengemukakan kembali gagasan bahwa Uskup Roma memang adalah protos (orang nomor satu), meskipun kelak akan digelar pembahasan-pembahasan terkait pelaksanaan yang eklesiologis dan konkret dari keutamaan Sri Paus.

Pada 2001, muncul gugatan-gugatan hukum yang mengklaim bahwa imam-imam Katolik telah melakukan pelecehan seksual terhadap kanak-kanak.[264] Untuk menanggapi skandal yang merebak, Gereja Katolik telah menetapkan prosedur-prosedur resmi untuk mencegah tindakan pelecehan, untuk mengimbau masyarakat agar melaporkan tindakan-tindakan pelecehan yang telah terjadi, dan untuk menangani laporan-laporan tersebut dengan segera, meskipun efektivitas dari prosedur-prosedur ini dipermasalahkan kelompok-kelompok yang mewakili para korban pelecehan.[265]

Sejumlah imam mengundurkan diri, yang lain dipecat serta dipenjarakan,[266] dan ada pula penyelesaian-penyelesaian damai secara finansial dengan sejumlah besar korban pelecehan.[264] Konferensi Waligereja Amerika Serikat memerintahkan dilakukannya suatu kajian komprehensif yang akhirnya mendapati bahwa empat persen dari seluruh imam yang bertugas di Amerika Serikat sejak 1950 sampai dengan 2002 telah menghadapi salah satu dari sekian macam dakwaan pelanggaran kesusilaan.

Dengan terpilihnya Paus Benediktus XVI pada 2005, Gereja Katolik telah menyaksikan perlanjutan sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, dengan beberapa pengecualian yang menonjol: Paus Benediktus mendesentralisasikan upacara beatifikasi dan membatalkan keputusan pendahulunya terkait pemilihan paus.[267] Pada 2007, ia menciptakan rekor baru dalam sejarah Gereja dengan menyetujui beatifikasi 498 Martir Spanyol. Ensikliknya yang pertama, Deus caritas est, membahas tentang cinta kasih dan seks dalam penentangan berkesinambungan terhadap pandangan-pandangan lain mengenai seksualitas.

Upaya Gereja Katolik untuk memperbaiki hubungan oikumene dengan Gereja Ortodoks Timur diperumit sengketa seputar doktrin maupun sejarah mutakhir dari Gereja-Gereja Katolik Timur, yang mencakup pula permasalahan pengembalian properti Gereja-Gereja Katolik Timur yang diambil alih Gereja Ortodoks semasa Perang Dunia II atas perintah Yosef Stalin.

Paus Fransiskus adalah paus yang menjabat saat ini. Sesudah pengunduran diri Paus Benediktus, ia terpilih pada 2013 sebagai paus pertama dari tarekat Yesuit sekaligus paus pertama dari Benua Amerika dan paus pertama dari Belahan Selatan Bumi.[268] Semenjak terpilih menjadi paus, ia telah meperlihatkan suatu pendekatan yang lebih sederhana dan kurang formal terhadap jabatan paus, dengan memilih untuk tinggal di wisma tamu Vatikan ketimbang di kediaman resmi Sri Paus.[269] Ia juga telah mengisyaratkan sejumlah perubahan dramatis dalam ranah kebijakan—misalnya menyingkirkan tokoh-tokoh konservatif dari jabatan-jabatan tinggi di Vatikan, mengimbau para uskup untuk hidup lebih bersahaja, dan mengambil sikap yang lebih pastoral terhadap homoseksualitas.[270][271]

Pranala ke artikel terkait

Anda mungkin ingin melihat